imsitumeang

Archive for Juni, 2009|Monthly archive page

Rakyat Penentu Putaran Pemilu

In Uncategorized on f 30, 09 at 4:56 am

KAMPANYE Pemilu Presiden/Wakil Presiden tidak hanya diwarnai perang urat saraf. Teror politik pun dilancarkan. Salah satu bentuknya adalah mewacanakan pemilu presiden/wakil presiden satu putaran saja dengan raihan suara 50% plus satu. Satu putaran atau dua putaran? Satu kali pusing atau dua kali pusing?

Iklan yang berbeda dengan iklan-iklan lain yang terlalu bermain dengan semiotika politik, mirip iklan shampoo. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Demokras (LSD) Denny Januar Ali (JA) di Jakarta, Rabu (3/6), mengumumkan dirinya yang memimpin gerakan sosial “Pilpres Satu Putaran Saja”. LSD mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Boediono) menjelang pencontrengan tanggal 8 Juli 2009.

Disebut teror politik karena wacana dikembangkan tanpa berbasis konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan, pemenang pemilu presiden/wakil presiden tidak semata ditentukan perolehan suara. Tapi, ada ketentuan lainnya, yaitu persebaran suara.

Pasal 6 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan ketentuan putaran pemilu presiden/wakil presiden. Yaitu, memperoleh suara lebih 50% dari total suara dengan minimal 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sekarang 33 provinsi. Untuk memenangi satu putaran, pasangan calon harus meraih suara 50% plus satu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 16 provinsi.

Sekalipun pasangan calon meraih 70% suara seperti dilansir survei pesanan, kalau sebaran suaranya tidak lebih setengah jumlah provinsi dan mendapat 20% suara, akan diikuti putaran kedua.

Ambisi memenangi pemilu presiden/wakil presiden hanya satu putaran patut diwaspadai. Ambisi yang serupa dengan kebiasaan Orde Baru yang menetapkan perolehan suara Pemilu DPR/DPD/DPRD jauh-jauh hari sebelum digelar. Kemudian, segala cara dihalalkan untuk mencapai target tersebut.

Wacana satu putaran sama sekali tidak mencerdaskan rakyat yang berhak memilih. Apalagi disertai alasan yang menjungkirbalikkan akal sehat, yaitu legitimasi keterpilihan dan penghematan anggaran belanja.

Benar, satu putaran menghemat biaya. Tetapi, mengaitkannya dengan biaya adalah pemikiran yang salah. Bukankah setiap perhelatan demokrasi membutuhkan biaya? Berapa pun biayanya harus dipikul bersama-sama dengan senang asalkan bertujuan memenuhi hak rakyat secara jujur dan adil. Jumlahnya telah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009.

Kalau enggal mengeluarkan biaya, kenapa kita memilih sistem demokrasi? Mengapa tidak sistem otoriter dengan presiden seumur hidup saja? Legitimasi keterpilihan juga tidak berkaitan dengan jumlah putaran. Sekalipun satu putaran, jika prosesnya dibumbui kecurangan maka legitimasinya lemah. Pun sebaliknya. Sekalipun dua putaran, jika ditempuh secara jujur dan adil, legitimasinya kuat.

Tahapan pemilu presiden/wakil presiden yang dilewati menyimpan masih persoalan terutama menyangkut daftar pemilih tetap (DPT). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan, DPT bermasalah di 15 provinsi. Sayangnya, hingga kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum memverifikasi DPT bermasalah tersebut.

Potensi kecurangan juga dalam masa kampanye. Tim sukses atau tim kerja setiap pasangan calon yang siluman alias tidak terdaftar di KPU, padahal mereka mengelola dana yang sumbernya siluman dan jumlahnya juga siluman. Wacana satu putaran saja disuarakan tim sukses siluman tersebut.

Satu putaran atau dua putaran, satu kali pusing atau dua kali pusing, serahkan saja kepada rakyat pemilih. Biarkan mereka sebagai sang penentu, hakikat kedaulatan rakyat yang konstitusional.

“Cuci Gudang” Calon Presiden/Wakil Presiden

In Uncategorized on f 30, 09 at 4:15 am

TIGA pasangan calon presiden/wakil presiden mengikuti pemilu presiden/wakil presiden tanggal 8 Juli 2009. Ketiganya mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 16 Mei 2009, hari terakhir pendaftaran.

Mereka adalah Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto (Partai Golkar dan Partai Hanura), Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (Partai Demokrat dan mitra koalisinya), serta Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (PDI Perjuangan dan Partai Gerindra).

Jika dibedah, ketiga pasangan memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Kesamaannya, ketiga pasangan menggabungkan unsur sipil dan militer, suatu kombinasi yang masih dibutuhkan sesuai dengan budaya politik di negeri ini. Ketiganya juga mewakili agama mayoritas, yaitu Islam, suatu kenyataan yang tidak mungkin terabaikan.

Dari ketiga pasangan, yang tertua adalah Jusuf (67 tahun), diikuti Boediono (66 tahun), Mega dan Wiranto (masing-masing 62 tahun), Susilo (60 tahun), serta yang termuda adalah Prabowo Subianto (58 tahun).

Kebelummunculan calon pemimpin yang berumur 40-an merupakan persoalan. Usia masing-masing merupakan kemunduran zaman karena Bung Karno menjadi presiden saat berumur 44 tahun dan Pak Harto 45 tahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat, yang kerap menjadi rujukan atau referensi demokratisasi banyak kalangan di Indonesia.

Di usianya yang 47 tahun, Barrack Hussein Obama berhasil mengalahkan rivalnya, John McCain yang berumur 72 tahun. Pria berkulit hitam itu membuktikan kalau perbedaan ras tak menghalangi dirinya memimpin negeri adidaya itu. Obama terpilih menjadi presiden ke-44 sekaligus kulit hitam pertama di negara yang dulu dilanda isu rasial.

Keterpilihan Obama menambah daftar Presiden Amerika Serikat yang berusia relatif muda. Obama akan berumur 47 tahun 5 bulan saat dilantik sebagai presiden tanggal 20 Januari 2009. Obama dilahirkan tanggal 4 Agustus 1961 di Honolulu, Hawaii.

Namun, 4 dari 43 Presiden Amerika Serikat sebelumnya berusia lebih muda dari Obama. Mereka adalah Ulysses S Grant (46 tahun 10 bulan), Theodore “Teddy” Roosevelt (42 tahun 10 bulan), John Fitzgerald “Jack” Kennedy (43 tahun 7 bulan), dan William “Bill” Clinton (46 tahun 5 bulan).

Secara keseluruhan, menurut http://www.news.com.au, 8 Presiden Amerika Serikat yang mendiami Gedung Putih berusia 40-an tahun. Empat lainya adalah James Polk (49 tahun 4 bulan), Franklin Pierce (48 tahun 3 bulan), James Garfield (49 tahun 3 bulan), dan Grover Cleveland (47 tahun 11 bulan).

Usia rata-rata Presiden Amerika Serikat saat dilantik adalah 55 tahun. Jadi presiden termuda adalah Kennedy (29 Mei 1917–22 November 1963), presiden ke-35 yang terbunuh hari Jumat, 22 November 1963, di Dallas, Texas, pukul 12:30 Central Standard Time (18:30 UTC). Sedangkan presiden termuda saat melanjutkan kepemimpinan adalah Roosevelt, setelah Presiden William McKinley terbunuh.

Perbedaannya, Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto memenuhi unsur Jawa-non Jawa, suatu realitas kenusantaraan yang harus dipertimbangkan sekaligus pembuktian politik aliran berbasis etnis yang masih dibutuhkan. Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto masih memenuhi unsur Jawa-non Jawa dengan kadar darah campuran. Megawati mewarisi darah campuran Jawa-Bengkulu sementara Prabowo peranakan Jawa-Manado. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang murni Jawa, lebih sempit lagi Jawa Timur. Susilo dari Pacitan dan Boediono dari Blitar.

Yang juga membedakan, hanya Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang kombinasi partai-nonpartai. Boediono dari kampus sedangkan dua pasangan lain dari partai. Sebetulnya, calon unsur nonpartai sangat dibutuhkan mengingat kehadirat kaum intelektual dan teknokrat diharapkan mengeliminisir konflik kepentingan partai.

Periode 2009-2014 merupakan ‘cuci gudang’ calon-calon tua. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden, selesailah era mereka. Era Susilo, Jusuf, Megawati, dan Wiranto untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden periode 2014-2019. Juga akhir bagi Boediono yang berumur 71 tahun. Yang tersisa adalah Prabowo yang berusia 63 tahun saat itu.

Karenanya, periode ini amat strategis bagi kaum muda menyiapkan diri menjadi pemimpin nasional lima tahun mendatang. Saat itu tantangan zaman jauh berubah. Siapa pun pemimpin muda yang kelak terpilih harus mempertahankan identitas Indonesia sebagai puak majemuk. Hanya dengan keragaman sebagai Indonesia maka kita bisa berdiri dan melangkah tegap di tengah jagat menyongsong masa depan. Identitas yang tidak boleh diabaikan, apalagi diberangus mereka yang berkuasa.

Hasil Pemilu DPR/DPD/DPRD tahun 2009 dan tiga pasangan capres/cawapres menunjukkan terjadi pergeseran dalam khazanah perpolitikan Indonesia. Partai berbasis agama tidak berkembang, bahkan stagnasi. Pasangan capres/cawapres kali ini pun tidak terlalu menonjolkan kombinasi nasionalis-agamais. Semua pasangan capres/cawapres berbasis kebangsaan.

Memang, Indonesia memerlukan pemimpin yang menaungi semua golongan, etnik, dan agama. Pemimpin yang juga meningkatkan taraf hidup rakyat dan membawa Indonesia menuju persaingan global. Siapakah mereka? Biarlah rakyat yang menentukannya dengan hati dan pikiran yang merdeka.

Jangan Gembosi KPK

In Uncategorized on f 29, 09 at 2:27 am

Sekian lama hukum diperjualbelikan di negeri ini. Muncullah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kehadirannya menjadi angin segar penegakan hukum, apalagi sepak terjangnya terbukti memberantas korupsi.

Sejauh ini, KPK jauh mengungguli Kepolisian dan Kejaksaan. Dua yang terakhir seolah-olah tumpul menegakkan hukum. Bisa dikooptasi, dibeli, dan selalu berpihak kepada pemilik uang. Belakangan, sejak kemunculan KPK, kepolisian dan kejaksaan terus berbenah diri. Meskipun belum menunjukkan perubahan yang memuaskan.

Sebagai yang konsisten memberantas korupsi, KPK memiliki musuh-musuh, terutama mereka yang terancam. Mereka terus menerus bergerilya menggembosi KPK, baik halus maupun kasar berupa ancaman kepada anggota KPK. Kasus Antasari Azhar menjadi senjata mereka untuk memojokkan KPK.

Di tengah ancaman penggembosan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa KPK telah berubah menjadi superbody. Dan menurutnya, kekuasaan yang terlalu besar, apalagi tanpa kontrol memadai, sangat berbahaya. “KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Hati-hati,” katanya, ketika mengunjungi redaksi Kompas di Jakarta.

Barangkali, yang dikatakan Presiden hanya peringatan agar KPK tidak gegabah. Tetapi karena diucapkan orang nomor satu di Republik Indonesia maka bisa ditafsirkan bahwa Susilo tidak nyaman dengan sepak terjang KPK. Pernyataan yang menjadi kontraproduktif, apalagi Presiden juga meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit KPK.

Tapi apapun pikiran dan pendapat orang terhadap KPK, apapun manuver mereka untuk menghancurkannya, KPK harus kuat. Selama ini KPK satu-satunya lembaga negara yang dipercaya memberantas korupsi. Meskipun masih dikritik tebang pilih, tapi secara umum kinerja KPK memuaskan. Banyak pejabat yang awalnya tak tersentuh akhirnya dipenjara KPK.

Bukan itu saja, KPK secara tidak langsung berhasil mencegah korupsi. Pejabat takut korupsi. Terbukti dalam pelaksanaan berbagai proyek pemerintah, banyak pejabat maupun pelaksana proyek yang bertanya dulu ke ahli hukum, boleh atau tidak ini itu, boleh atau tidak melakukan ini itu.

Kelanjutan kinerja KPK juga terancam molornya Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semestinya, pembahasan dan pengesahannya dirampungkan sebelum berakhir periode 2004-2009 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tugas yang harus diselesaikan. Tapi sampai sekarang belum bisa dipastikan penyelesaiannya.

Pengadilan Tipikor sangat penting. Jika dibubarkan dan belum ada penggantinya maka setiap perkara yang diajukan KPK akan diadili di pengadilan umum. Padahal, pengadilan umum belum dipercaya seratus persen sebagaimana Pengadilan Tipikor. Bisa jadi perkara yang diajukan KPK ke pengadilan umum justru mentok.

Kita harus bersama-sama menjaga KPK tetap eksis. Kita harus melawan pihak-pihak yang terus menerus menggembosi KPK.

Setelah Prita Bebas

In Uncategorized on f 29, 09 at 2:23 am

Wajah Prita Mulyasari (32), ibu dua bocah, memancarkan kegembiraan. Ia bersujud syukur begitu majelis hakim membatalkan dakwaan terhadapnya. Prita dinyatakan tidak bersalah dalam kasus pencemaran nama Rumah Sakit Omni International Alam Sutra, Tangerang.

Sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (25/6), ramai diliput media massa. Karena, kasusnya sebagai perlakuan semena-mena institusi rumah sakit yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum, yaitu kejaksaan.

Majelis hakim menerima keberatan yang diajukan Prita dan membatalkan dakwaan jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Tangerang. Prita dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Padahal, UU ITE akan berlaku dua tahun lagi. Artinya, diterapkan per tanggal 21 April 2010. Karenanya, Prita tidak bisa dijerat dengan UU ITE. Inilah kesewenang-wenangan jaksa penuntut umum menerapkan dakwaan. Mereka bengis menerapkan sanksi terhadap orang yang lemah.

Coba bandingkan dengan kasus konglomerat hitam pengemplang utang. Pekan-pekan ini Kejaksaan Agung sangat berkompromi kepada Djoko Tjandra. Padahal, kasus Djoko telah berkekuatan hukum tetap. Beragam alasan digunakan Kejaksaan Agung untuk berdalih dalam kasus Prita maupun Djoko. Sangat kontradiktif.

Prita disel sel tanggal 13 Mei 2009. Dia disel lewat UU ITE Pasal 27 ayat (3) dengan ancaman hukuman penjara hingga enam tahun. Ia tersangka pencemaran nama RS Omni International setelah menulis keluhannya lewat e-mail. Awalnya, kasus Prita nyaris luput dari perhatian media massa.

Namun, setelah pemberitaan yang sangat gencar, akhirnya aparat hukum membebaskan Prita dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang, Rabu (3/6). Lalu, dialihkan penahanannya dari tahanan LP menjadi tahanan kota.

Tidak hanya Prita yang berkasus dengan RS Omni International. Juliana, yang melahirkan bayi kembar tanggal 26 Mei 2008, juga harus menerima kenyataan pahit.

Orang tua bayi kembar Jayden dan Jared itu tak bisa lagi menahan kesedihan setelah kebutaan dialami sang anak, Jayden Christophel. Juliana melaporkan RS Omni International ke kantor polisi.

Kasus di rumah sakit seperti ini tidak harus terjadi, apabila dokter jujur menjelaskan penyakit yang diderita pasien. Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), setiap pasien berhak mendapat penjelasan yang baik dan rinci. Bahkan, dokter harus jujur menjelaskan sakit pasien. Dokter berwajib menjelaskannya dengan baik dan rinci.

Setelah dokter menginformasikan, pasien berhak menolak pengobatan dokter. Sebaliknya, dokter berwajib meminta izin pasien. Tidak bisa sembarangan dokter melakukan tindakan medis tanpa izin pasien atau ahli warisnya.

Dalam kasus kesehatan, pasien bisa mengadukan masalahnya kepada Departemen Kesehatan dan Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia. Terutama, kasus yang diduga mengandung unsur kelalaian dan malpraktik.

Kita harus mengambil hikmah kasus Prita. Tidak boleh ada ‘main mata’ antara rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan dan aparat penegak hukum untuk menjerat pasien. Apalagi, memenjarakan pasien.

Pers dan Pemilu Iran

In Uncategorized on f 25, 09 at 9:29 am

Pemilu Presiden Iran yang dimenangi Mahmoud Ahmadinejad disorot Barat. Protes keras kubu reformasi digalang Mir Hossein Mousavi yang berakhir dengan kericuhan. Titik tolak kecaman dari Amerika Serikat dan Inggris. Berbekal aksi kekerasan tentara Iran terhadap pemrotes, Barat pun menilai pemilu dipenuhi kecurangan.

Pers mainstream dunia yang berbasis di Amerika Serikat dan Eropa menambah panjang kontroversi pemilu di negeri kaya itu. Hanya bersumber dari kelompok Mousavi, pers Barat seperti CNN, ABC, MSNBC, FoxNews memberitakan terjadi kecurangan hebat yang berbuah kemenangan mutlak presiden incumbent.

Awal protes, pers tersebut menggambarkan seolah-olah merebak keributan dan aksi massal di seluruh Teheran dan beberapa wilayah lainnya. Angka kematian pun diangkat berlipat-lipat, belum lagi jumlah korban luka-luka yang diberitakan tidak sesuai kenyataan.

BBC semula fair yang memberitakan demonstrasi hanya di titik-titik Teheran. Menjelang sore, seperti dilaporkan BBC, Teheran kembali normal, seolah tidak terjadi sesuatu.

Berbeda dengan tayangan teve Barat lainnya yang memberitakan seolah-olah terjadi pembantaian di Iran. Seolah-olah demokrasi dihabisi praktik kecurangan. Mereka benar-benar tidak cover both sides; hanya bersandar pernyataan tanpa pembuktian. Dan, BBC membuktikan, tidak semua yang dilaporkan pers mainstream Barat yang faktual.

Sangat memprihatinkan kekerasan di Iran dan kita menyesalkannya. Kita memahami pemilu sebagai pesta rakyat untuk memilih pemimpinnya yang harus jujur dan adil. Namun, kita mengkritisi ketika pihak yang dikalahkan menuding pemilu tidak jujur dan adil tanpa bukti yang diperkarakan di pengadilan. Yang terjadi, mereka yang mengaku kaum reformis justru turun ke jalan-jalan Teheran untuk menarik perhatian dunia. Mereka menolak hasil pemilu.

Posisi Iran dan Ahmadinejad yang kontroversial dalam hubungannya dengan Barat dan Israel, menjadikan aksi tersebut sebagai makanan lezat pers Barat. Posisi mereka sebagai oposisi, bukan channel informasi yang berimbang.

Dengan kekuatan men-setting berita—-mencitrakan pemilu ini buruk—-mereka berhasil mencuri perhatian dunia. Namun, kita bersyukur, banyak pemimpin dunia yang tidak terpancing isu-isu murahan yang diangkat mereka.

Presiden Barack Hussein Obama, misalnya. Dia menegaskan, tidak terbukti terjadi kecurangan. Ia malah mengatakan, baik Ahmadinejad maupun Mousavi sama saja bagi Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia sudah mengucap selamat kepada Ahmadinejad. Beberapa negara Eropa pun tidak menganggap tuduhan kubu reformis yang digembor-gemborkan pers Barat sebagai masalah yang besar. Mereka justru bersiap untuk bekerja sama lebih erat dengan Pemerintah Iran.

Kita menginginkan semua pihak—-negara dan pers—-menghormati demokratisasi di Iran. Kalau terjadi kecurangan, pers mesti mendorong perselisihan pemilu dibawa ke pengadilan, bukan memprovokasi massa untuk terus melakukan aksi jalanan. Biarkan hukum yang membuktikan.

Debat yang Mengecewakan

In Uncategorized on f 22, 09 at 3:06 am

Ketika debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) akan digelar, masyarakat bersemangat menyambutnya. Pertama kali capres dan cawapres bertemu dalam satu forum untuk mempresentasikan program-programnya sekaligus beradu argumen di antara mereka.

Apa yang terjadi? Mengecewakan. Kering. Masyarakat kecewa karena menemukan adu argumen yang dinamakan debat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hanya pemaparan visi dan misi capres/cawapres.

Debat capres putaran pertama bertema “Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia” diikuti Megawati Soekarnoputeri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Muhammad Jusuf Kalla. Diagendakan lima kali debat, tiga di antaranya diikuti calon presiden dan, dua lainnya, calon wakil presiden.

Debat yang dipandu Rektor Universitas Paramadina, Anies Rasyid Baswedan, dibagi empat sesi, yaitu penyampaian visi-misi, pendalaman, diskusi dengan kesempatan calon menanggapi pandangan calon lain, serta penutup. Di sesi diskusi, setiap capres boleh mengomentari pandangan capres lain. Dengan catatan, kalau ada pertanyaan, harus melewati moderator, tidak diajukan langsung.

Aturan debat menjadikan debat menjemukan. Masing-masing capres tidak tertantang mempertahankan pandangannya. Juga tidak tertantang mengkritik program pesaingnya. Justru mereka saling memuji.

Aneh. Debat tapi tidak berdebat. Padahal, jika diskusi digelar tim-tim kerja mereka masing-masing, justru terjadi perdebatan yang seru, saling serang, dan saling mempertahankan pandangan, kadang saling menjatuhkan.

Kita tidak berharap debat yang saling menjatuhkan, tetapi setidaknya mereka memperdebatkan program masing-masing. Jika tidak, debat menjadi tidak bermakna. Masyarakat menjadi buta calon. Di negara-negara maju yang kehidupan demokrasinya berkembang, debat sangat menentukan ketertarikan calon pemilih.

Anehnya lagi, ketika capres-capres di satu podium, justru mereka saling sungkan. Padahal, ketika mereka di panggung kampanye masing-masing mereka sering ‘perang pernyataan’, saling sindir.

Kita mengetahui betapa keras di panggung kampanye capres Megawati mengkritik kebijakan capres (incumbent) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya mengenai kebijakan utang. Sebaliknya, SBY tak segan menyindir kebijakan masa lalu Megawati yang dinilainya mengalami kegagalan. Juga, target pertumbuhan ekonomi yang tidak masuk akal. Dalam berbagai kesempatan, Muhammad Jusuf Kalla juga menyindir SBY yang ragu-ragu mengambil tindakan sehingga perekonomian bangsa tidak cepat bergerak. SBY pun membalasnya dengan sindiran bahwa lebih cepat tidak selalu lebih baik, tetapi harus cermat.

Sindir-menyindir dan kritik-mengkritik diharapkan dalam debat capres, apalagi jika ada sesi perdebatan langsung. Tapi, kita harus mengalami kekecewaan. Debat mirip monolog. Tidak mengeksploitasi kemampuan dan kelemahan masing-masing capres. Debat yang bermutu penting bagi setiap kandidat karena masih puluhan juta pemilih yang belum menentukan sikap (swing voter). Mereka sebagian menentukan pilihan setelah mengetahui calon melalui debat antarcapres atau cawapres.

Masih tersisa empat debat lagi, yakni dua debat capres dan dua debat cawapres. KPU harus belajar dari debat putaran pertama agar di putaran berikutnya capres/cawapres benar-benar berdebat. Debat yang agresif, bukan monoton. KPU harus mengubah aturan debat.

Ahmadinejad Kalahkan Kaum Reformis

In Uncategorized on f 22, 09 at 1:19 am

Iran memasuki saat yang penting sekaligus kritis menyusul pengumuman hasil pemilu presiden yang dimenangi Mahmoud Ahmadinejad. Keterpilihan kembali Ahmadinejad, dengan perbedaan raihan suara yang besar, dicurigai lawan-lawannya.

Hasil yang diumumkan Kementerian Dalam Negeri, Ahmadinejad meraih 62%, Mir Hossein Mousavi 33,8%, Mohsen Rezai 1,7%, dan Mehdi Karroubi hanya 0,9% suara. Jumlah pemilihnya hampir 40 juta orang.

Benarkah pemilu fair, tanpa manipulasi? Pertanyaan didasari karena sebagai incumbent, yang tengah berkuasa, Ahmadinejad bisa melakukan apa saja untuk memenangi pemilu presiden.

Kecurigaan yang menguasai pikiran kelompok oposisi, kaum reformis. Mereka merasakan banyak hambatan berkampanye, seperti larangan penggunaan facebook dan short message service (SMS) yang digunakan pendukung salah satu kandidat, yaitu kubu Mousavi.

Kecurigaan tersebut mendorong pendukung kubu reformis turun ke jalan berdemonstrasi setelah pengumuman hasil pemilu. Demonstrasi yang membrutal makin mendorong aparat keamanan bertindak tegas. Mereka menangkap tak kurang 100 pendukung kubu reformis.

Memang, hasil tersebut meleset dari perkiraan banyak kalangan. Semula diperkirakan pemilu dimenangi kandidat kubu reformis, Mousavi yang mantan perdana menteri. Dalam kampanyenya, Mousavi yang menjanjikan kebebasan berusaha menarik bagi kaum muda dan perempuan. Dalam usahanya menarik dukungan kaum perempuan, ia mengikutsertakan sang isteri berkampanye.

Sementara itu, basis dukungan Ahmadinejad adalah kalangan bawah, wong cilik, karena kebijakan-kebijakannya yang populis membantu mereka. Ia membantu janda pejuang. Ahmadinejad, yang berusaha mengangkat Iran agar tidak tunduk pada kemauan Barat dan menentang semua yang berbau Barat, didukung ulama.

Karenanya, banyak pengamat yang memperkirakan akan terjadi pertarungan seru di antara keduanya. Yang satu didukung kaum muda dan juga perempuan, sedangkan yang satunya didukung ulama dan kalangan bawah.

Apa yang terjadi menyatakan lain. Kita tidak mengetahui saat penghitungan suara. Tetapi, kekalahan kaum reformis merupakan pesan kepada Barat bahwa Iran masih akan tetap seperti sebelumnya dan tegas menghadapi Barat.

Aceh dan “Sinetron” JK

In Uncategorized on f 22, 09 at 12:58 am

Cerita bak “sinetron” ini beredar di facebook, salah satunya dari Muchlis Hasyim, Press Officer Kantor Wakil Presiden. Ia bekas bosku juga. Mungkin Anda mengenalnya. Aku memperolehnya lewat milis pressroom DPR/DPD dan Kompasiana tanggal 16 Juni 2009.

Di sini terungkap peran JK, SBY, menteri-menteri, gubernur, dan drama tsunami Aceh itu sendiri. Ditulis dengan sangat baik oleh Majalah Tempo. Lupakan sejenak Anda memilih siapa. Baca saja dulu: Tiga Hari Penuh Badai.

Majalah Tempo, Edisi Khusus Akhir Tahun, 26 Desember 2005, halaman 32

Tiga Hari Penuh Badai

Inilah kisah di pusat kekuasaan selama tiga hari pertama setelah tsunami. Mengenang setahun tragedi itu, beberapa sumber termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Komunikasi dan Informasi Sofjan Djalil menuturkan kenang-kenangan mereka kepada Tempo.
****

Baru duduk di jok mobilnya, telepon seluler Jusuf Kalla berdering-dering. Staf pribadinya melaporkan: “Pak, di Aceh ada tsunami. Dahsyat sekali.” Pagi itu, 26 Desember 2004, Kalla hendak menghadiri halal bihalal warga Aceh di Senayan, Jakarta. Kalla lalu mengirim pesan pendek ke telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pagi itu berada nun jauh di Nabire, Papua. Presiden menemui korban gempa yang melumat Nabire sehari sebelumnya.

Presiden membalas: “Saya sudah dengar. Tolong koordinasikan.” Kalla lalu menelepon Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Provinsi Aceh. Gubernur Abdullah Puteh saat itu telah ditahan di penjara Salemba karena dugaan kasus korupsi.

Kalla juga mengontak Kapten Didit Soerjadi, pilot pesawat pribadinya. Didit sedang beristirahat. “Kau segera mandi dan berangkat ke Aceh,” perintah Kalla. Semuanya serba buru-buru. Perintah terus mengalir saat Didit mandi. “Lucu juga, saya mandi sambil terima telepon Pak Wapres,” kenang sang pilot. Wapres menggegas semua stafnya menelepon semua pejabat di Aceh. Sial, tak satu pun menyahut. Kalla mulai cemas.

Di Aceh, dunia berhenti pagi itu. Bumi berguncang dengan kekuatan 8,6 pada skala Richter, air laut tumpah ke daratan. Beberapa keluarga sempat mengabarkan soal air bah kepada kerabat di Jakarta. Cuma sebentar. Lalu telepon putus total.

Halal bihalal warga Aceh di Senayan dibuka pada pukul sembilan lebih, berlangsung dalam suasana tegang sekali. Berita tsunami sudah menyebar. Banyak yang sibuk menelepon. Beberapa orang berlinang air mata. Ada yang histeris, gusar kian-kemari. Kalla berpidato sekenanya. Hampir tak ada yang mendengar. “Orang-orang ingin acara itu cepat kelar,” tutur Kalla kepada Tempo. Turun panggung, Kalla menggelar rapat mendadak di situ.

Dia memerintahkan Sofjan Djalil memimpin rombongan pertama ke Aceh. “Pakai pesawat saya saja,” kata Wapres. Anggota rombongan 30 orang, antara lain Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Azhari, Azwar Abubakar, dan beberapa tetua Aceh. Kalla membekali Sofyan uang Rp 200 juta dan sebuah telepon satelit. “Begitu kau tiba di Aceh, langsung telepon saya,” perintahnya. Mereka menjadi rombongan pertama pemerintah yang terbang ke Aceh di hari pertama tsunami.

Pesawat berputar dua kali di langit Banda Aceh. “Dari udara Aceh terlihat hancur total,” tutur Kapten Didit. Menara bandara retak. Tak satu pun petugas di menara. Untung, pesawat mulus mendarat, sekitar pukul enam sore.

Anggota rombongan membeli beras dan mi instan di beberapa toko dekat bandara, lalu beranjak ke pendapa kantor gubernur sekitar pukul tujuh malam. Jalanan sunyi senyap. Gelap gulita. Satu-satunya penerangan cuma lampu mobil. Sungguh mengerikan. Mayat bergelimpangan di jalan, di kolong rumah, tersangkut di dahan pohon. Beberapa ekor anjing berlari ke sana kemari. Anggota rombongan mulai menangis sesenggukan.

Malam itu ratusan orang menumpuk di pendapa kantor gubernur. Banyak yang luka parah. Puluhan mayat dijejerkan di latar depan pendapa. Aceh lumpuh total. Koordinasi tak jalan karena aparat pemerintah pusing mencari sanak keluarga. Kepala Polres Banda Aceh hanyut ditelan tsunami.

Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Aceh, bisa memimpin. Namun, dia sedang galau. Rumahnya di Blang Padang hancur. Ia tak tahu nasib anak-anaknya. Wakil Gubernur ini pulang ke rumahnya ditemani Sofjan Djalil, Jusuf Azhari dikawal dua tentara. Mobil melaju dalam gelap, menghindari mayat-mayat yang direbahkan di kiri-kanan jalan. Mobil berhenti kira-kira 50 meter dari rumah Azwar sebab sampah menggunung menutup jalan.

Wakil Gubernur turun ditemani seorang tentara. Dipandu nyala senter, mereka mengendap-endap. Sofjan menunggu dengan cemas. Setengah jam berlalu, Azwar pulang. “Di rumah banyak mayat, tapi anak-anakku tak kelihatan,” katanya penuh kecemasan. Mereka lalu balik ke pendapa.

Berkali-kali Sofjan menelepon Jusuf Kalla di Jakarta. Tak bersahut. Di Jakarta, Wapres menggelar sidang kabinet darurat di rumah dinas Jalan Diponegoro pada pukul 21.30 WIB. Sembilan menteri dan Panglima TNI hadir. Sembari rapat, Kalla berkali-kali pula mengontak Sofjan. Tak bersambung juga. “Sofjan itu bawa telepon satelit kok tidak sambung-sambung,” kata Kalla.

Di Aceh, Sofjan memutuskan mengirim kabar lewat Orari Angkatan Udara di Aceh. Orari Jakarta meneruskan pesan itu ke telepon seluler Jusuf Kalla. Ini laporan pertama Sofjan dari wilayah bencana: ”Pak, korban sekitar 5.000 hingga 6.000.” “Astagfirullah, astagfirullah,” kata Kalla berkali-kali sembari mengusap wajah. Sejumlah menteri tertunduk. Hening menyapu ruang rapat.

Kalla melanjutkan pesan ke Presiden Yudhoyono yang malam itu sudah tiba di Jayapura. Presiden menyampaikan belasungkawa kepada korban bencana. Besoknya, Presiden terbang menuju Aceh.

Pukul sepuluh malam, telepon satelit Sofjan sukses menembus Jakarta. “Eh, ini Sofjan,” ujar Kalla kegirangan. “Apa yang terjadi? Kenapa kau tak telepon-telepon?” tanya Kalla dengan suara keras. “Saya stres, Pak. Di sini gelap sekali,” sahut Sofjan dari seberang. “Besok aku susul ke sana,” ujar Kalla. Percakapan ditutup.

Malam itu Kalla mematangkan persiapan ke Aceh. “Saya minta Anda menyediakan dana sepuluh miliar uang kontan,” perintah Kalla kepada Menteri Keuangan Jusuf Anwar. Jusuf tertegun. “Pak, kalau segitu tak ada,” jawabnya. “Saya tidak mau tahu. Itu urusanmu,” kata Kalla. Rapat bubar larut malam.

Di larut malam itu, pendapa kantor gubernur di Banda Aceh masih gaduh. Warga yang luka parah dirawat seadanya. Koordinasi sulit karena aparat sibuk mencari keluarga masing-masing. Kepala Polda Aceh Bahrumsyah datang ke pendapa dengan terengah-engah. Wajahnya letih. Si Kapolda cuma mengenakan pakaian dinas tanpa alas kaki alias nyeker. Orang hilir-mudik di pendapa membikin Sofjan bingung menjaga uang Rp 200 juta yang dia bawa dari Jakarta. Ia meminta seorang anggota DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera menjaga uang itu. “Orangnya berjenggot. Uang pasti aman,” ujar Sofjan.

Sang Menteri lalu merebahkan badan di atas karpet. Belum lagi mata terpejam, terdengar pekikan, “Gempa! Gempa!” Orang-orang berlari. Sofjan ikut kabur. Setelah bergoyang beberapa menit, bumi kembali tenang. Warga kembali ke pendapa. Tak berapa lama, teriakan gempa terdengar lagi. Semua berhamburan, termasuk Pak Menteri. Malam itu gempa datang berkali-kali. Lama-lama, Sofjan putus urat takutnya. Saat orang-orang kabur, ia terlelap. “Sudah jam dua pagi, masak lari-lari terus. Saya lelah sekali,” kenangnya. Besoknya, orang ramai menggunjingkan kehebatan nyali Pak Menteri.

*****

Hari kedua, 27 Desember. Entah bagaimana caranya, Menteri Keuangan berhasil menyediakan uang kontan pagi itu. Jumlah Rp 6 miliar. Menjelang siang, Kalla terbang ke Aceh membawa serta uang satu peti. Petang hari, Presiden Yudhoyono mendarat di Lhokseumawe. Wajahnya sedih. “Tadi pagi saya meninjau Nabire. Sore ini saya di Lhokseumawe menemui saudara-saudara yang tertimpa musibah lebih besar lagi,” katanya.

Setibanya di Banda Aceh, Kalla memerintahkan stafnya memborong beras, mi instan, dan aneka makanan lain. Karena berasnya kurang, Kalla bertanya, “Eh, berasnya sedikit sekali. Mana beras dari Dolog?” Seseorang menjawab, pintu Dolog digembok. Si pemegang kunci tak diketahui rimbanya. Wakil Presiden menyergah dalam nada tinggi “Buka! Kalau tak bisa, tembak gerendelnya. Apa perlu tanda tangan Wapres untuk buka pintu Dolog?” Suasana tegang. Beberapa polisi bergegas membidik gembok. Beras pun mengalir.

Rombongan Kalla berlalu ke pendapa kantor gubernur. Di Lambaro, mereka menyaksikan ratusan mayat berjejer di depan toko. “Masya Allah,” ucap Kalla. Badannya lemas. Di pendapa ia menggelar rapat, lalu keliling kota bersama Mar’ie Muhammad, Ketua Palang Merah Indonesia, yang datang sehari sebelumnya. Kota itu lautan mayat.

Mayat-mayat harus segera dikubur karena bau busuk menikam hidung. Untung, ada seorang ustad. Kalla minta ustad itu mendoakan tumpukan jenazah sebelum dikuburkan. Tapi siapa yang menjamin sahnya pemakaman? “Saya jamin,” kata Kalla. Ia mencorat-coret di atas kertas, lalu membubuhkan parafnya. “Tolong keluarkan ayat yang pantas-pantas saja,” pintanya kepada ustad.

Sore hari Kalla terbang dengan helikopter ke Lhok Nga untuk menjatuhkan mi instan dari udara. Helikopter itu tak punya sabuk pengaman. Setiap pesawat memutar, tubuh Kalla serong ke kiri, serong ke kanan. Rombongan Kalla terbang ke Medan pukul tujuh malam. Sofjan Djalil yang sudah dua hari di Banda Aceh minta ikut pulang. “Baru dua hari sudah minta pulang. Kau tetap di sini,” jawab Kalla. Malam itu Sofjan pusing tujuh keliling menjaga uang satu peti yang dibawa Kalla. Takut uang itu dicolong, Menteri Sofjan dan kawan-kawannya tidur mengitari peti itu.

*****

Hari ketiga, 28 Desember. Presiden Yuhdoyono terbang dari Lhokseumawe menuju Banda Aceh. Kalla yang sudah berada di Medan mendapat kabar Meulaboh rata tanah. Ia memerintahkan stafnya mencari pesawat ke Meulaboh. Dapat pesawat Angkatan Udara. Dari udara, Meulaboh tampak seperti tanah gusuran. “Astagfirullah,” ucap Kalla berkali-kali.

Kalla meminta pilot terbang lebih rendah. Pilot mengangguk. Kalla minta lebih rendah lagi. Kali ini pilot bilang, “Tak bisa, Pak. Bahaya.” “Kau ini orang mana?” tanya Kalla. “Saya orang Makassar, Pak,” jawab si pilot. “Ah, orang Makassar kok penakut,” sergah Kalla. Pilot mengalah, pesawat melayang cuma beberapa meter di atas pucuk kelapa. Untung saja arahnya ke laut.

Setelah berkali-kali memutar di atas Meulaboh, pesawat kembali ke Medan. Kalla langsung rapat dengan Gubernur Sumatera Utara Rizal Nurdin—kini sudah almarhum. Dia memerintahkan Gubernur mengirim makanan ke Meulaboh. Keduanya sempat bersoal-jawab.

+ “Bagaimana caranya, Pak?” tanya Gubernur.
– “Lewat udara, buang dari pesawat,” jawab Kalla.
+ “Kalau dibuang nanti pecah, Pak.”
– “Tidak apa-apa, toh sampai di perut pecah juga.”
+ “Ya, tapi nanti basah Pak.”
– “Bungkus saja pakai plastik.”
+ “Pak, nanti jatuh ke GAM,” Gubernur berusaha menjelaskan.
– “ Tidak apa-apa. GAM juga manusia. Perlu makan,” nada Kalla mulai meninggi.
Beberapa orang membisiki Gubernur supaya jangan membantah.
+ “Jadi, bagaimana, bisa atau tidak?” tanya Kalla.
– “Siap, Pak,” jawab Gubernur.

Pesawat pemasok makanan melayang ke Meulaboh. Presiden dan Wakil Presiden kembali ke Jakarta pada hari ketiga.

Lalu, bantuan kemanusiaan mulai mengalir dari segenap penjuru dunia….

Jangan Ada Siti-Siti Lagi

In Uncategorized on f 19, 09 at 1:48 am

Lagi-lagi, berita memilukan dari Malaysia. Seorang pembantu rumah tangga (PRT) dari Indonesia, Siti Hajar, dihajar majikannya selama tiga tahun. Bukan hanya itu, gajinya tidak diberikan. Dia makan nasi tanpa lauk pauk.

Begitulah derita Siti, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Garut, yang mencari nafkah di negeri orang. Waktu dijalaninya, bukannya kesejahteraan yang didapat, tetapi penyiksaan. Penyiksaan yang di luar batas-batas kemanusiaan.

Kasus Siti yang ke sekian ribu kali dalam daftar kasus penyiksaan PRT di Malaysia. Sekarang saja, ketika kita bersiap menyabut pesta demokrasi, mungkin ada warga kita yang disiksa atau disekap di Negeri Jiran.

Tiga macam tipikal perlakuan PRT di Malaysia, yakni penyiksaan, gaji yang tidak dibayar, dan yang terparah diperkosa. Penyiksaan dan gaji yang tidak dibayar adalah kasus yang kerap terjadi. Juga terjadi di Singapura dan di negara-negara Arab.

Perlakuan berbeda di Hongkong dan Taiwan. Hampir tidak terdengar PRT yang gajinya tidak dibayar, disiksa, apalagi diperkosa di kedua negara. Justru, masyarakat di kedua negara sangat menghargai PRT. Selain gaji yang tinggi, mereka pun diberi hak libur, yaitu tiap hari Ahad.

Penghargaan PRT di Hongkong tidak terlepas dari ketegasan Pemerintah mereka yang memperlakukan PRT sebagaimana pekerja lainnya. Pemerintah mereka pun sangat tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan majikan, tidak pandang bulu. Keadaan tersebut membuat masyarakat mereka tidak berani macam-macam.

Semestinya, negara-negara di kawasan Arab serta, terutama, Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga melakukan langkah serupa. Pemerintah mereka harus mempedulikan nasib manusia, entah dia sebagai PRT atau pekerjaan lain. Sejauh ini, mereka belum sungguh-sungguh memanusiakan PRT.

Di sisi lain, Pemerintah kita harus serius mengatasi masalah seperti ini. Langkah yang mengatasi kasus Siti sudah baik dibanding sebelumnya. Harapannya, bukan langkah politis menjelang Pemilu 2009, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempatkan diri menelepon Siti.

Sistem pengawasan atau monitoring PRT juga diperlukan agar efektif dan efisien secara menyeluruh. Jika terjadi penyiksaan seperti yang dialami Siti, tidak harus menunggu tiga tahun untuk diketahui. Perlindungan terhadap WNI di luar negeri harus ditegakkan, siapa pun dan apa pun profesinya.

Selain itu, dipikirkan penyetopan pengiriman PRT untuk Malaysia atau di negara-negara yang PRT kita sering diperlakuan tidak manusiawi. Kalaupun mengirim, kita memilih negara-negara yang baik memperlakukan PRT.

Kita tidak menginginkan terjadi lagi penyiksaan PRT kita di luar negeri. Kita tidak menginginkan Siti-Siti yang lain menderita di negeri orang demi menghidupi keluarganya di Tanah Air. Jangan ada Siti-Siti lagi.

Persaingan Antar-Calon Presiden

In Uncategorized on f 19, 09 at 1:16 am

Persaingan antar-calon presiden menjelang Pemilu 2009 makin menarik saja. Masing-masing tak hanya mempromosikan kualitas diri dan keluarga, tapi juga program-programnya. Mereka juga mulai saling menyerang, bahkan saling mengklaim. Semua sah. Namanya juga kontestasi dan kompetisi. Apa yang disebut sebagai negative campaign—atau black campaign untuk takaran tertentu—tidak masalah, asalkan fakta bukan fitnah.

Di tengah situasi kondisi tersebut tentu ada calon yang tak siap dan menyusun strategi meraih simpati belaka. Misalnya, mengingatkan kampanye harus santun dan tidak menjurus black campaign. Padahal, masalah kesantunan sangat relatif dan subjektif. Bisa berbeda sesuai perspektif dan zaman. Sedangkan, masalah negative campaign merupakan bagian pencarian kebenaran. Silakan.

Yang paling dipentingkan adalah aturan main. Tentu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuatnya. Dan, semua pihak telah mengetahuinya. Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mengawasi. Di tingkat selanjutnya, polisi, jaksa, hakim, dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kita berharap mereka adil dan jujur.

Sebetulnya, yang menentukan adalah calon pemilih, yakni rakyat. Kita. Bukankah yang dilakukan calon-calon presiden bersama calon-calon wakil presiden dan skondannya sedang menarik simpati kita? Berarti, calon dan timnya harus mampu membaca kemauan rakyat. Bisa menyentuh hati dan pikiran kita. Rakyat pun bermacam-macam; sosial, ekonomi, suku, agama, lokasi, juga pendidikan. Masing-masing memiliki psikografi yang berbeda-beda.

Apakah saling klaim dalam perdamaian Aceh akan efektif? Apakah saling klaim pada program konversi gas akan mengena? Apakah saling klaim pembagian bantuan langsung tunai (BLT) memikat rakyat? Apakah saling klaim pembangunan jembatan Suramadu berdampak? Apakah mempromosikan pesona diri yang manjur? Apakah menyoal neolib meruntuhkan lawan? Apakah menyoal bisnis keluarga menghancurkan calon lain?

Struktur masyarakat yang beragam dan jurang antar-kelompok masyarakat yang melebar membuat kampanye di Indonesia lebih rumit dibanding kampanye di Amerika Serikat, misalnya. Kelas menengah kita ditaksir baru 4%. Mereka harus diajak berbicara dan berpikir secara rasional. Namun, budaya paternalistik dan bapakisme yang masih kuat mempengaruhi lapis sosial di bawah.

Pertanyaannya, apakah waktu kampanye yang tersisa cukup membuat rembesan? Sedangkan, lapis sosial yang terbesar lebih mudah menangkap yang simbolik dan jangka pendek. Keadaan tersebut bisa menguntungkan atau merugikan incumbent, bergantung prestasi dan pesonanya selama ini.

Kita harus mengkhawatirkan pembajakan Pemilu 2009 oleh segelintir orang. Karena penyelenggaraanya yang langsung memakan biaya sangat mahal. Padahal, dana yang disediakan sangat besar. Kita memimpikan kejayaan Indonesia yang harus dirintis dan dikritisi melalui pemilu.