imsitumeang

Archive for Februari, 2016|Monthly archive page

Pemimpin yang bersih adalah syarat mutlak

In Uncategorized on f 25, 16 at 11:36 am

Presiden melantik tujuh pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih di Istana Negara. Pelantikan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13P Tahun 2016 tentang Pengesahan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Masa Jabatan 2016-2021 tanggal 12 Februari 2016. Bukan hanya melantik, Presiden memastikan terjadinya sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bahwa gubernur dan wakil gubernur harus memiliki kesamaan visi-misi dengan presiden dan wakil presiden guna memastikan seluruh rakyat merasakan kehadiran pemerintah dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Dalam menciptakan sinergi dengan pemerintah pusat, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam melaksanakan pembangunan daerah, gubernur berpedoman pada visi-misi presiden yang tertuang dalam Nawacita. Sebab, Nawacita memberikan arah yang komprehensif tentang mencapai masyarakat yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian. Jika visi-misi dan langkah-langkah kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kesamaan, tentunya hasil akhir akan cepat terwujud. Pembangunan di daerah berdampak jika tidak dilaksanakan sendiri-sendiri dan pemerintah daerah membangun komunikasi dengan pemerintah pusat.

Diharapkan, hubungan antara presiden dan kepala daerah, khususnya gubernur, makin bersinergi sejak masa pelantikan. Para gubernur harus mampu meningkatkan perannya sebagai simpul koordinasi antara kementerian/lembaga di tingkat pusat serta pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Simpul itu meliputi fungsi mengkonsolidasikan program kementerian/lembaga di tingkat pusat ke daerah, serta memfasilitasi dan menangani permasalahan lintas kabupaten atau kota.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kepala daerah yang pertama dilantik Presiden tanggal 19 November 2014 di Istana Negara. Pelantikan berikutnya dilakukan Presiden terhadap tujuh gubernur hasil pilkada tanggal 9 Desember 2015 di lokasi yang sama tanggal 12 Februari 2016.

Selanjutnya, gubernur melantik pasangan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota terpilih di kantor gubernur masing-masing wilayah. Misalnya, 12 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota periode 2016-2021 se-Sumatera Barat tanggal 17 Februari 2016 dilantik oleh Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno.

Dua kepentingan pelantikan bupati dan walikota beserta wakilnya dilakukan segera setelah pelantikan gubernur beserta wakilnya, yaitu agar para kepala daerah terpilih bisa merealisasikan visi-misi mereka yang diterjemahkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021 sehingga mereka bisa langsung bekerja menggerakkan roda pemerintahan, serta memenuhi penyelenggaraan pilkada serentak meskipun tidak seluruhnya.

Kita berharap, setelah pelantikan tersebut para kepala daerah tidak mengganggu birokrasi yang bekerja selama ini. Mengapa? Karena menarik orang dekat untuk menjabat di posisi pemerintahan tertentu dan mencampakkan orang yang sebenarnya memiliki kompetensi adalah kecenderungan kepala daerah terpilih pascapelantikan. Melalui mutasi pejabat baru menggantikan pejabat lama, kepala daerah ingin pemerintahannya terselenggara sesuai harapan.

Logika sederhananya, kepala daerah terpilih tidak akan mempertahankan pejabat yang tidak mendukungnya atau memihak kepada kepala daerah yang menjadi lawannya saat pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Pejabat itu dianggap bakal menghambat jalannya roda pemerintahan daerah. Sebaliknya, kepala daerah menganggap birokrat yang mendukungnya saat pilkada bakal menggerakkan mesin pemerintahan daerah.

Pengangkatan pejabat baru merupakan reward atau balas jasa kepala daerah terpilih atas dukungannya ketika pilkada. Mutasi, bahkan pemecatan, merupakan punishment atau balas dendam atas dukungan pejabat lama kepada calon lain selain kepala daerah terpilih.

Tapi, kepala daerah hasil pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 tidak lagi dapat bertindak semena-mena begitu ia selesai dilantik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang dengan gamblang melarang mereka melakukannya.

Undang-undang tersebut menggariskan bahwa kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat selama enam bulan setelah ia dilantik. Bukan hanya itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga melarang kepala daerah terpilih mengganti jabatan pimpinan tinggi birokrasi, yakni kepala dinas/badan/kantor atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebelum pejabat itu memasuki masa dua tahun jabatan. Pengecualian berlaku hanya jika kinerja pejabat yang bersangkutan benar-benar buruk.

Larangan mutasi dilengkapi sanksi. Kepala daerah yang nekat memutasi pejabat tanpa mematuhi peraturan perundang-undangan diancam sanksi pemberhentian. Ketentuan itu pun gamblang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menteri dalam negeri dapat mengeluarkan sanksi pemberhentian sementara kepada kepala daerah yang terbukti merotasi atau memutasi pejabat tanpa mengindahkan aturan tersebut. Larangan ganti-mengganti pejabat harus ditaati.

Dengan aturan itu, semangat balas dendam kepala daerah kepada aparat birokrasi yang dinilai tidak memihak kepadanya selama pilkada dapat dibatasi. Melalui aturan itu, kepentingan kepala daerah baru untuk balas budi atau balas jasa pun dapat diredam.

Balas budi atau balas dendam sama buruknya. Birokrat atau para pegawai merupakan abdi rakyat, negara, dan bangsa. Mereka bukan hamba apalagi budak kepala daerah. Balas budi atau balas dendam kepada mereka harus dilarang. Penunjukan birokrat di posisi tertentu tidak boleh atas dasar like and dislike sang kepala daerah terpilih, tapi atas dasar kinerja mereka yang berprestasi dalam melayani rakyat. Birokrat yang baik diapresiasi atau dipromosikan, yang buruk dan korup didemosi atau dipecat.

Dalam bingkai negara kesatuan, gubernur, bupati, dan walikota adalah bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai kepala daerah, mereka kepanjangan tangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, mereka harus menaati aturan pemerintah pusat. Nyatanya, tidak sedikit bupati atau walikota terpilih bertindak semaunya. Tidak jarang, mereka membuat kebijakan yang melawan kebijakan pemerintah pusat. Bahkan, dalam kasus tertentu, kebijakan mereka justru bertentangan dengan aturan nasional.

Akibatnya, sinergi kebijakan pusat dan daerah tidak terjadi. Rakyat menjadi korban atas kebijakan itu. Kita menolak implementasi kebijakan semacam itu. Pesan ini ditekankan kepada 101 bupati dan walikota hasil pilkada tanggal 9 Desember 2015 yang dilantik serentak oleh gubernur di provinsi masing-masing.

Selama ini banyak kepala daerah tidak mengikuti perintah pemerintah pusat. Mereka lebih patuh dan loyal kepada partai pendukung. Begitu dilantik, kepala daerah tanpa embel-embel partai! Dalam kasus tertentu, para kepala daerah bahkan bertindak bak raja-raja kecil yang seolah menciptakan negara dalam negara. Melalui peraturan daerah, mereka memberlakukan kebijakan pemerintah daerah yang tumpang-tindih dengan kebijakan pemerintah pusat.

Kita mengapresiasi langkah Presiden yang melantik tujuh gubernur terpilih di Istana Negara. Pelantikan itu meninggalkan pesan bahwa Presiden menghendaki sinergi dan sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah yang harus dicamkan oleh bupati dan walikota yang dilantik. Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, atau disebut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo ‘tangan kanan Presiden’. Tugasnya antara lain membangun tata kelola hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pemilihan kepala daerah oleh rakyat mestinya menjadi ruang seleksi yang ketat, sangat ketat, bagi lahirnya pemimpin daerah yang bermoral dan berwibawa. Pemimpin yang bersih itu syarat mutlak untuk menciptakan pemerintahan daerah yang ideal. Pemerintah yang siaga melayani rakyat, bukan siap dilayani.

Tugas terberat pemerintahan yang berkuasa ialah merawat kepercayaan. Kian berat lagi karena yang mesti dikelola itu ialah kepercayaan rakyat, bukan sekadar kepercayaan segelintir orang atau konstituen. Sebagai wujudnya, tugas utama pemerintahan ialah menyejahterakan rakyat. Karena itu, segala kebijakan yang lahir dari tangan pemerintah mesti dimaksudkan sebesar-besarnya untuk menyejahterakan rakyat. Pemerintah harus prorakyat.