KOMISARIS Besar (Kombes) Susno Duadji kembali menghebohkan. Pernyataan lantang mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) itu perihal makelar kasus di kepolisian membuat berang dan meradang petinggi Polri. Perkara yang dibebernya terkait dengan skandal penggelapan pajak Rp 25 miliar yang juga melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan.
Berdasarkan penyidikan yang telah dan sedang dilakukan polisi, dari total dana Rp 25 miliar di rekening Gayus, hanya Rp 395 juta yang memenuhi unsur pidana. Sisanya, yang semula diblokir polisi di kemudian hari dilepas. Kabarnya, dana itu mengalir ke kantong sejumlah petinggi kepolisian dan penyidik kasus tersebut.
Tak tanggung-tanggung, Susno menduga, dua perwira tinggi bintang satu menikmati uang itu. Mereka adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Edmon Ilyas, yang kini menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Lampung, dan Brigjen Raja Erizman, yang kini menjabat Direktur II Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri.
Susno, tentu saja tidak asal menuding. Orang sekelas Susno, perwira tinggi polisi berbintang tiga, tentu mengetahui dan memahami perbedaan antara fitnah dan indikasi pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Makelar kasus atau mafia hukum dan sejenisnya bukanlah perkara baru. Tapi, inilah persoalannya, kita menganggap petinggi Polri tidak mengakui dan membongkarnya, malah menyembunyikannya.
Padahal, pembusukan hukum di Republik ini terus menerus terjadi, karena salah satunya permufakatan jahat antara aparat penegak hukum dan pihak-pihak jahat lainnya yang berani mengangkangi hukum.
Hukum kita membusuk karena keadilan yang diperjualbelikan. Itu sebabnya, semua lembaga penegak hukum terkenal korup, seperti kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan atau kehakiman. Kita mengkhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjangkit penyakit itu. Makanya, beralasan jika Indonesia memperoleh predikat negara terkorup se-Asia Pasifik versi terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Dalam konteks itu, persoalan tidak boleh difokuskan kepada sosok Susno dan mencari ‘motifnya’, seperti mengapa baru sekarang dia mengungkapkan makelar kasus di kepolisian. Lalu kemudian, Mabes Polri menjeratnya sebagai tersangka kasus pencemaran nama institusi Polri dan menyatakannya berstatus tersangka kasus etika dan disiplin karena yang bersangkutan selama 78 hari tak ke kantor. Padahal, Susno sama sekali belum menjalani pemeriksaan atas laporan dugaan pencemaran nama tersebut.
Menjadi tepat langkah Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum yang meminta proses hukum kasus dugaan pencemaran nama itu ditunda dan meminta Polri mendahulukan kasus dugaan korupsi pajak yang dihembuskannya, setelah mereka di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, bertemu Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Hendaknya, ‘nyanyian’ Susno justru memicu semua lembaga penegak hukum, termasuk kepolisian, untuk introspeksi dan berbenah. Apa yang dibebernya harus direspons cepat secara positif dan aktif, bukan negatif dan reaktif. Bukan pula, justru memperuncing pertikaian internal di lingkungan Polri. Langkah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yaitu mendorong KPK menyelidiki makelar kasus di jajaran Polri, merupakan salah satu respons yang positif dan aktif.
Sukses tidaknya pemberantasan mafia hukum sangat bergantung kepada Polri untuk mereformasi dirinya, termasuk menindak dan membersihkan jajaran mereka sendiri. Isu yang selalu digaungkan tapi kenyataannya seperti jauh panggang dari api. Tanpa komitmen untuk membersihkan diri, maka memberangus makelar kasus sebagai bagian reformasi dirinya hanya akan mati suri. Terhalang arogansi institusi.
Kita berharap, pengadilan dan kejaksaan atau kehakiman juga mereformasi dirinya. Sembari itu, kita mendorong KPK menyelidiki makelar kasus di jajaran mereka. Bertahun-tahun makelar kasus bergentayangan di institusi penegak hukum kita. Tak pernah berhasil diberangus.