imsitumeang

Archive for Maret, 2010|Monthly archive page

Memberangus Makelar Kasus

In Uncategorized on f 31, 10 at 6:53 am

KOMISARIS Besar (Kombes) Susno Duadji kembali menghebohkan. Pernyataan lantang mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) itu perihal makelar kasus di kepolisian membuat berang dan meradang petinggi Polri. Perkara yang dibebernya terkait dengan skandal penggelapan pajak Rp 25 miliar yang juga melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan.

Berdasarkan penyidikan yang telah dan sedang dilakukan polisi, dari total dana Rp 25 miliar di rekening Gayus, hanya Rp 395 juta yang memenuhi unsur pidana. Sisanya, yang semula diblokir polisi di kemudian hari dilepas. Kabarnya, dana itu mengalir ke kantong sejumlah petinggi kepolisian dan penyidik kasus tersebut.

Tak tanggung-tanggung, Susno menduga, dua perwira tinggi bintang satu menikmati uang itu. Mereka adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Edmon Ilyas, yang kini menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Lampung, dan Brigjen Raja Erizman, yang kini menjabat Direktur II Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri.

Susno, tentu saja tidak asal menuding. Orang sekelas Susno, perwira tinggi polisi berbintang tiga, tentu mengetahui dan memahami perbedaan antara fitnah dan indikasi pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Makelar kasus atau mafia hukum dan sejenisnya bukanlah perkara baru. Tapi, inilah persoalannya, kita menganggap petinggi Polri tidak mengakui dan membongkarnya, malah menyembunyikannya.

Padahal, pembusukan hukum di Republik ini terus menerus terjadi, karena salah satunya permufakatan jahat antara aparat penegak hukum dan pihak-pihak jahat lainnya yang berani mengangkangi hukum.

Hukum kita membusuk karena keadilan yang diperjualbelikan. Itu sebabnya, semua lembaga penegak hukum terkenal korup, seperti kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan atau kehakiman. Kita mengkhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjangkit penyakit itu. Makanya, beralasan jika Indonesia memperoleh predikat negara terkorup se-Asia Pasifik versi terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC).

Dalam konteks itu, persoalan tidak boleh difokuskan kepada sosok Susno dan mencari ‘motifnya’, seperti mengapa baru sekarang dia mengungkapkan makelar kasus di kepolisian. Lalu kemudian, Mabes Polri menjeratnya sebagai tersangka kasus pencemaran nama institusi Polri dan menyatakannya berstatus tersangka kasus etika dan disiplin karena yang bersangkutan selama 78 hari tak ke kantor. Padahal, Susno sama sekali belum menjalani pemeriksaan atas laporan dugaan pencemaran nama tersebut.

Menjadi tepat langkah Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum yang meminta proses hukum kasus dugaan pencemaran nama itu ditunda dan meminta Polri mendahulukan kasus dugaan korupsi pajak yang dihembuskannya, setelah mereka di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, bertemu Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Hendaknya, ‘nyanyian’ Susno justru memicu semua lembaga penegak hukum, termasuk kepolisian, untuk introspeksi dan berbenah. Apa yang dibebernya harus direspons cepat secara positif dan aktif, bukan negatif dan reaktif. Bukan pula, justru memperuncing pertikaian internal di lingkungan Polri. Langkah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yaitu mendorong KPK menyelidiki makelar kasus di jajaran Polri, merupakan salah satu respons yang positif dan aktif.

Sukses tidaknya pemberantasan mafia hukum sangat bergantung kepada Polri untuk mereformasi dirinya, termasuk menindak dan membersihkan jajaran mereka sendiri. Isu yang selalu digaungkan tapi kenyataannya seperti jauh panggang dari api. Tanpa komitmen untuk membersihkan diri, maka memberangus makelar kasus sebagai bagian reformasi dirinya hanya akan mati suri. Terhalang arogansi institusi.

Kita berharap, pengadilan dan kejaksaan atau kehakiman juga mereformasi dirinya. Sembari itu, kita mendorong KPK menyelidiki makelar kasus di jajaran mereka. Bertahun-tahun makelar kasus bergentayangan di institusi penegak hukum kita. Tak pernah berhasil diberangus.

Kekecewaan Kita Sebagai Pembayar Pajak

In Uncategorized on f 31, 10 at 6:15 am

KASUS dugaan makelar yang melibatkan aparat pajak Gayus Tambunan telah mencetuskan keprihatinan sekaligus kemarahan. Keprihatinan, karena ternyata kasus korupsi dan kolusi tidak bisa terlepas dari birokrat kita. Kemarahan, karena kasus itu membuat publik, yang belakangan meningkat kepercayaannya kepada aparat pajak, merasa ditipu dan dikhianati.

Gerakan boikot membayar pajak yang diserukan sebagian masyarakat melalui jejaring pertemanan Facebook adalah ungkapan keprihatinan sekaligus kemarahan. Jumlah pendukungnya yang setiap hari bertambah menjadi petunjuk betapa kekecewaan terus berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Kasus Gayus, seorang pegawai negeri golongan IIIA, yang menyimpan dana Rp 25 miliar di rekeningnya, membuktikan betapa reformasi birokrasi yang berhasil memperbaiki remunerasi administratif tetapi bergagal untuk merombak mental aparat yang koruptif.

Reformasi yang dilakukan dengan cara-cara modern tidak mampu membersihkan dorongan mencuri, menilap, dan menarik keuntungan pribadi dengan cara-cara yang kotor. Reformasi pajak yang sering didengungkan hanya bagus di luar, tetapi keropos di dalam.

Karena itu, kekecewaan pembayar pajak melalui gerakan boikot membayar pajak di Facebook harus dipahami. Yang terjadi adalah distrust. Di sana bermunculan keprihatinan dan kemarahan. Di sana bermunculan perasaan ditipu dan dikhianati.

Ironisnya, kasus itu terjadi tatkala kesadaran mereka sebagai wajib pajak tengah meningkat. Wajib pajak yang membayar pajak disebut orang bijak, tapi mereka diinjak-injak. Apa kata dunia?

Kasus Gayus diyakini adalah fenomena gunung es. Marilah kita memperhatikan kehidupan pegawai negeri di kantor pajak yang berpenampilan “beda” dengan pegawai negeri di kantor lain. Kesejahteraan mereka bisa beranjak sangat cepat meninggalkan pegawai negeri lainnya. Tak ayal, mereka memiliki rumah bagus, mobil mewah, entah apa lagi.

Pendapatan mereka diperoleh dari hasil patgulipat dengan perusahaan atau perorangan yang mengemplang pajak. Praktik yang telah berlangsung lama dan menjadi perbincangan awam di kalangan pegawai negeri.

Marilah kita juga memperhatikan kantor pajak yang rata-rata lebih mentereng ketimbang kantor lainnya. Perhatikan gedung Direktorat Jenderal Pajak di samping Gedung Bank Mandiri di Jl Gatot Subroto, Jakarta.

Berarti, ada yang sangat salah, telah dan sedang terjadi, di dalam tubuh birokrat pajak. Akal sehat sulit menerima seorang pegawai negeri golongan IIIA memiliki rekening pribadi yang berisi dana Rp 25 miliar.

Kita membayangkan, bila ia mengaku hanya seorang pemain kelas teri, seperti apa yang disebut sebagai pemain kelas kakap atau, bahkan, kelas paus? Luar biasa!

Karena itu, sebagai pernyataan pendapat dan perasaan, telah ditipu dan dikhianati, kemarahan publik yang tercetus lewat gerakan boikot membayar pajak adalah wajar. Wajar dalam batasan peringatan bahwa pelanggaran oleh oknum pajak terhadap pajak yang dibayar wajib pajak bisa berdampak fatal, yaitu mereka enggan membayar pajak yang dipotong dari gaji yang diperoleh susah payah tetapi seenaknya dikorup melalui sindikat yang melibatkan aparat dan birokrat pajak itu sendiri.

Namun, kita menjaga agar gerakan itu terkendali. Jangan sampai ia menjadi gerakan menolak untuk membayar pajak selama-lamanya. Kalau itu muaranya, ia setali tiga uang dengan tindakan yang melanggar hukum. Yang harus dilakukan adalah menjadikan gerakan itu sebagai pengawas dan penekan agar kasus Gayus dan oknum lainnya diusut setuntas-tuntasnya.

Secara internal, Direktorat Jenderal Pajak harus benar-benar membersihkan dirinya dari aparat dan birokrat yang menilep pajak. Kita mendukung aparat hukum, juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyeret oknum-oknum, termasuk hakim dan polisi, yang terlibat permainan ini. Kalau tidak, apa kata dunia!