imsitumeang

Archive for November, 2013|Monthly archive page

Jangan Melempar Tanggung Jawab

In Uncategorized on f 20, 13 at 10:34 am

Kemacetan lalu lintas memang masalah yang dialami berbagai kota besar di tanah air. Bukan hanya di Jakarta yang sudah terkenal macetnya, melainkan juga di Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, Semarang, dan lainnya.

Kemacetan di ibukota negara ini sepertinya sulit teratasi. Nyatanya, jangankan membicarakan solusi, penentu tertinggi kebijakan di negeri ini malah melempar tanggung jawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini, mengeluhkan kemacetan lalu lintas itu dan menuding kepala daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Menanggapi keluhan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin), ketika silaturahim di Istana Bogor, Senin (4/11), Presiden mengingatkan kepala daerah untuk aktif mengatasi masalah kemacetan yang kian menjadi-jadi, agar tidak menghambat kegiatan dunia usaha. Gubernur, bupati, dan walikota patut ditanyai dan wajib menjelaskan masalah berikut solusinya.

Ihwal kemacetan di Jakarta, dikatakan Presiden, tidak hanya dikeluhkan berbagai kalangan di dalam negeri, tetapi juga dikeluhkan pemimpin negara tetangga. Dalam pertemuan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Summit di Brunei Darussalam, 9-10 Oktober 2013, kritikan juga disampaikan. Presiden menegaskan tidak bisa berbuat banyak mengatasi kemacetan Jakarta, karena Gubernur yang bertanggungjawab.

“Saat pertemuan ASEAN Summit di Brunei (Darussalam), saya juga seperti tertusuk bertemu teman saya yang perdana menteri. Ada yang bertanya, Pak (SBY), di Jakarta dari airport ke down town (pusat kota) bisa dua jam yah,” dia mengatakannya. Ia pun bercerita, hanya bisa membenarkan pernyataan orang tersebut. Bahkan, ia pun mengaku tidak enak menjelaskan solusinya, karena pemerintah pusat hanya membantu memberikan kemudahan.

Setelah bercerita mengenai percakapannya dengan perdana menteri negara sahabat, Presiden dalam kesempatan itu, menganjurkan Kadin agar menanyakan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Jowo Widodo, dan Gubernur serta Bupati atau Walikota lainnya. Jadi, kalau biang kemacetan di Jakarta, datanglah ke Pak Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta); kalau biang kemacetan di Bandung, datanglah ke Pak Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat), atau Walikota Bandung, Semarang, Medan, Makassar, dan seterusnya.

Presiden ogah disalahkan. Meskipun mengakui efeknya banyak sekali, Presiden menolak disebut sebagai salah satu sumber kemacetan. Dia mengaku tak pernah memerintahkan penutupan jalan yang dilewatinya. Meskipun sudah rahasia umum, di berbagai kota besar rata-rata perjalanan pejabat selalu dikawal. Dia beralasan, Indonesia saat ini sudah menganut desentralisasi atau otonomi daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepala daerah berperan untuk mengatasi kemacetan di wilayahnya.

Dalam sistem desentralisasi, terjadilah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Otonomi daerah itu merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Sedangkan daerah otonom ini mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya berdasarkan aspirasi masyarakat.

Masalah kemacetan memang bukan urusan baru, dan telah lama dikeluhkan warga Jakarta dan sekitarnya, juga warga Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, Semarang, dan lainnya. Di Jakarta, kemacetan bukan saja terjadi sejak wilayah ini dipimpin Joko Widodo alias Jokowi, melainkan sejak Fauzi Bowo atau Foke berkuasa, bahkan ketika Sutiyoso menjadi orang nomor satu di ibukota negara. Namun semua keluhan itu hanya dianggap angin lalu, solusinya tidak tuntas.

Ketika Sutiyoso berkuasa, ada upaya mengatasi kemacetan melalui proyek bus bebas hambatan Transjakarta yang memiliki jalur busway. Kemudian, dibangun tiang-tiang untuk angkutan massal monorel. Namun semuanya seperti berjalan di tempat alias setengah hati atau tidak tuntas. Bahkan setelah Gubernur DKI Jakarta berganti dari Sutiyoso ke Foke, jumlah armada bus bebas hambatan Transjakarta dan jalur busway tidak bertambah atau stagnan dan rencana membangun jaringan angkutan massal monorel pun mandek.

Idealnya Presiden tidak ikut berkeluh kesah, dengan mengangkat keluhan pengurus Kadin dan pemimpin negara tetangga. Semestinya dia lugas menanggapi semua keluhan itu. Tanpa memanggil para kepala daerah–gubernur, bupati, walikota, sebagai Presiden selayaknya dia sudah memiliki solusi dan menjawab atau menjelaskannya kepada khalayak.

Masalah kemacetan di Jakarta, misalnya, berkaitan erat dengan dua provinsi lainnya, yaitu Jawa Barat dan Banten. Jika sudah demikian maka pemerintah pusat wajib hukumnya untuk ikut bertanggung jawab, baik segi anggaran maupun kebijakan, serta moral dan etika. Pertanyaannya, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah pusat? Mengeluarkan beleid mobil murah agar Jepang berikut korporasi-korporasi otomotifnya makin lebih kaya dan “menjajah” Indonesia?

Bukankah jika jumlah kendaraan pribadi bertambah di jalan raya, efeknya ialah konsumsi bahan bakar minyak atau BBM (bensin dan solar) juga semakin meningkat dan kemacetan lalu lintas semakin parah? Posisi RI-1 menanggung konsekuensi bahwa segala tindakan, pikiran, dan ucapannya seyogianya solutif terhadap masalah bangsa, negara, dan masyarakat, tidak justru mengeluarkan uneg-uneg, keluhan, amarah, lebay, dan paranoid. Sembilan tahun dia menjabat, apa solusinya? Dia sendiri setiap berangkat dari Cikeas ke Istana Presiden atau sebaliknya malah menambah kemacetan.

Seharusnya Presiden mengapresiasi program dan kegiatan Jokowi saat ini yang meneruskan pembangunan angkutan massal seperti monorel dan mass rapid transit (MRT), serta pengembangan bus bebas hambatan Transjakarta. Pembangunan megaproyek MRT diprediksi akan menimbulkan kemacetan dan Jokowi pun bersedia dicaci maki warga Jakarta.

Barangkali Presiden lupa bahwa Jakarta tidak hanya menghadapi masalah kemacetan lalu lintas, tetapi juga kerap dilanda banjir. Pasti banyak yang mengeluhkan masalah banjir itu, sebab apabila hujan deras di Jakarta, tidak hanya sebagian wilayahnya yang digenangi air, tetapi jalan-jalan umum pun didera kemacetan parah. Mengapa Presiden tidak menyinggung banjir? Padahal, masalah itu tak kalah kerap dikeluhkan.

Salah siapa? Apakah semuanya pantas dibebankan kepada duet pemimpin Jakarta, Jokowi dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sepertinya tak adil. Jakarta mudah terkena banjir atau hanya tergenang air adalah akibat lama, dari tersumbatnya kali karena dipenuhi sampah, ke menyusutnya area resapan karena beralih menjadi perumahan, perkantoran, dan perbelanjaan. Masalahnya merupakan akumulasi kesalahan dan penyimpangan para penentu kebijakan (gubernur, walikota, kepala dinas/kantor/badan) sebelum era Jokowi-Ahok.

Jadilah dalam beberapa tahun terakhir kemacetan lalu lintas, juga banjir, menjadi tantangan utama yang dihadapi pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Semua tantangan itu bukan hanya tanggung jawab Jokowi-Ahok, melainkan juga ikut serta menjadi tanggung jawab Presiden karena Jakarta adalah ibukota negara.

Presiden seharusnya mendukung pemimpin Jakarta. Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan kementerian lainnya dikerahkan Presiden. Otonomi daerah bukan alasan untuk melepas tangan, tidak mempedulikan kerja keras dan pikir cerdas para gubernur, bupati, dan walikota yang berusaha untuk mengatasi berbagai masalah di wilayah mereka.

Kalau masih belum jelas, Presiden memiliki kekuasaan memanggil petinggi yang membawahi kota-kota yang menghadapi masalah kemacetan. Dia kan Presiden, pasti bisa berbuat yang lebih hebat untuk melakukan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan. Kekuasaan dimilikinya, kenapa harus lepas tangan? Lebih malu mana antara kemacetan di Jakarta dan korupsi oleh gerombolan partai, termasuk yang dipimpinnya?