imsitumeang

Archive for Desember, 2010|Monthly archive page

Refleksi Akhir Tahun

In Uncategorized on f 31, 10 at 7:06 am

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.

Alinea kedua Pembukaan atau Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 isinya luar biasa. Maknanya historik, keramat! Bersejarah sebagai latar belakang peristiwa kelahiran Republik Indonesia dan bersejarah pula dalam makna falsafah kebangsaan dan kenegaraannya.

Selanjutnya, teramanatkan, berkat rahmat Allah, didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Maka, dibentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

Kebangsaan Indonesia disusun dalam UUD 1945 yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Deklarasi kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 terurai dalam pasal/ayat konstitusi. Di antaranya, perihal kesejahteraan sosial dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Setiap tanggal 17 Agustus kita memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia. Tatkala deklarasi kemerdekaan dan pembukaan tersebut dibaca kembali, perasaan kita terharu, bergetar, bersyukur, bahkan menggugat. Makanya, setiap menjelang akhir tahun, sebaiknya kita memilih muhasabah atau contemplation.

Falsafah kebangsaan dan kenegaraan karya para pendiri bangsa dan negara (the founding fathers) tersebut amat historik dan keramat. Makna tersebut sekaligus ide besar atau cita agung yang memiliki tujuan riil. Ungkapan Perancis menyebut, ide dan cita yang historik dan keramat adalah l’ idee pousse a l acte. Ide dan cita-cita yang harus diwujudkan.

Memang benar, seharusnya kita memahami dan merasakannya. Getaran, keharuan, dan refleksi ide dan cita demikian menghadapi berbagai persoalan atau permasalahan yang dalam kenyataannya. Kenyataan menyangkut realisasi tujuan kemerdekaan serta sikap dan tindak pemimpin atau penyelenggara pemerintahan.

Tentunya, kita tidak bermaksud salah menyalahkan dan lempar melempar tanggung jawab. Dengan sikap kritis-konstruktif, kita mengakui kekurangan atau kelemahan masing-masing posisi kita bersama-sama, yakni mewujudkan amanah Indonesia merdeka. Utamanya, dalam konteks yang mendesak yaitu kemakmuran rakyat yang berkeadilan sosial serta kemajuan bangsa dan negara dalam konteks regional, global, dan mondial.

Republik Indonesia menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Di antaranya, pada satu sisi, yang strategis dan mencolok adalah kultur kekuasaan yang tidak bersih, apalagi asketis, seperti diteladankan para pendiri Republik Indonesia. Totalitas kita untuk mengabdi kepada bangsa dan negara yang mengendur. Praktiknya, kita cenderung menyalahgunakan kekuasaan melalui sikap dan tindak yang koruptif, kolusif, dan nepotistik!

Sikap dan tindak tersebut makin meluas dan mendalam dari pusat ke daerah-daerah. Komitmen pimpinan nasional dan lokal untuk memberantasnya tidak sungguh-sungguh, malahan tidak ada. Sehingga, Republik Indonesia belum berhasil menjadi Republik Indonesia yang bersih. Sikap dan tindak yang koruptif, kolusif, dan nepotistik belum sirna, perangnya gagal dimenangi. Banyaknya uang negara yang dikorupsi, misalnya, jelas menghambat kerja kita mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Pada lain sisi, pemahaman dan praksis demokrasi kita baru sampai tahap sistem dan mekanisme yang prosedural, belum substansial. Padahal, nilai demokrasi harus dikembangkan melalui sikap dan tindak yang memperkuat falsafah kebangsaan dan kenegaraan. Esensi makna demokrasi harus dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan. Ada tuntutan pengorbanan bagi kepentingan rakyat banyak.

Jumlah warga miskin tercatat 21 juta orang. Suburnya praktik penyalahgunaan kekuasaan yang mengusik serta adanya berbagai persoalan atau permasalahan menuju amanah Indonesia merdeka mengganggu kenikmatan kita setiap merayakan hari ulang tahun kemerdekaan dan pergantian tahun lama ke tahun baru. Hambatan dan tantangan kita bersama-sama yang ditanggung jawabi juga bersama-sama. Komitmen yang harus terus menerus diperbarui seiring muhasabah sebagai refleksi akhir tahun.

 

Bencana Alam dan Derita Warga

In Uncategorized on f 31, 10 at 7:03 am

Bencana alam tanpa jeda melanda negeri kita. Air mata tak kunjung putus mengalir, karena longsor tanah, banjir air, letusan gunung api, serta gempa bumi, dan tsunami seakan-akan silih berganti.

Setiap tahun. Dan, kali ini serentak dan beruntun, dari Wasior di Papua, Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, ke Gunung Merapi di Yogyakarta. Herannya, bencana-bencana alam sebesar itu tidak berefek apa-apa.

Kendati Nusantara akrab dengan bencana alam, pemerintah tetap saja gagap memberi pertolongan kepada warganya. Penanganan yang lambat bin lamban semacam penyakit yang tak sembuh-sembuh. Ketidakberdayaan menjadi begitu mutlak dan kentara, padahal pemerintah wajib melindungi warganya.

Tabiat kebencanaan. Ya, pemerintah tidak mengenal tabiat kebencanaan, kalau pun ada tabiat kebencanaan kita amat rendah. Inilah bumi yang memiliki potensi kebencanaan tertinggi di dunia tapi di sini pula hidup subur tabiat kebencanaan yang amat rendah

Gempa bumi disusul tsunami di Kepulauan Mentawai tanggal 25 Oktober 2010 membuktikan ketidakberdayaan. Pemerintah tidak sigap, bahkan sangat tidak siap mengatasi dampaknya yang merenggut nyawa ratusan orang dan puluhan ribu lainnya mengungsi.

Seluruh bantuan untuk korban lebih dulu ke Padang, ibukota Sumatera Barat, lalu dikirim ke Sikakap, Kepulauan Mentawai. Skenarionya, dari Sikakap bantuan didistribusikan ke lokasi-lokasi bencana alam menggunakan perahu-perahu kecil. Tetapi, rencana tak bisa terwujud karena tingginya gelombang laut.

Pemerintah, tentu saja, berlindung di balik keganasan alam, sebagai penyebab buruknya penanganan. Seakan-akan Kepulauan Mentawai itu baru kemarin bergabung dengan negara Republik Indonesia, sehingga pemerintah tidak mengenal keganasan alamnya.

Alam yang tidak bersahabat di Kepulauan Mentawai bukan kali ini saja. Sangat ironis bahwa pemerintah tidak mengetahui dan memahami persis alam setempat. Jangan-jangan kalau tidak ada bencana, tidak ada pejabat pemerintah yang mengunjungi daerah itu.

Pemerintah tidak mengerahkan segenap potensinya untuk membantu dan menyelamatkan warga. Apalagi, pemerintah sendiri terlambat menyadari bahwa daerah itu diterjang tsunami.

Manajemen penanggulangan bencana masih berantakan dan kacau-balau. Berantakan karena pemerintah enggan belajar dari pengalaman dan kacau-balau karena kehadiran pejabat di daerah itu hanya mau mengumbar air mata demi pencitraan, bukan memastikan seluruh bantuan terdistribusi.

Alam dengan seluruh determinasinya tidak dipahami, tetapi dilawan dengan segala kekonyolan. Tidak menghiraukan peringatan agar mengungsi dari rumah kendati Gunung Merapi hendak meletus sehingga berujung kematian, misalnya kekonyolan itu.

Contoh lainnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyalahkan cuaca ekstrim. Banjir di Jakarta yang intensitas bertambah saban tahun tidak diakui sebagai hukuman alam terhadap pelanggaran tata ruang.

Ibaratnya, masyarakat dan negara kita bertabiat tenteram aman sentosa. Coba perhatikan sistem kedaruratan manajemen bencana. Negara memiliki Badan Penanggulangan Bencana Nasional yang kewenangannya tumpang-tindih dengan kementerian/lembaga lain.

Bencana alam adalah pos anggaran minimalis yang longgar penggunaannya. Sejumlah bupati, walikota, dan gubernur dibui karena seenaknya memakai dana bencana.

Warga yang tersebar di ribuan pulau seperti Indonesia menuntut penyebaran pusat-pusat penanggulangan dilengkapi fasilitas kedaruratan. Jangan fasilitas kedaruratan hanya di satu lokasi.

Kekurangan kantong mayat untuk membungkus 15 korban kapal motor Tersanjung yang tenggelam di perairan utara Flores adalah contoh manajemen kedaruratan yang tidak tersebar.

Kita terbiasa manajemen kedaruratan post factum. Setelah letusan gunung api meluluhlantakkan, banjir air bah menggasak, dan tsunami menyapu, seluruh otoritas bergegas dalam serbakedaruratan dan, umumnya, melebihi dosis.

Para menteri berebut untuk mengunjungi lokasi, bahkan pada saat yang sama tumpah ruah ke sana. Kepulauan Mentawai contohnya. Pagi dikunjungi Wakil Presiden, sore didatangi Presiden yang terbang langsung dari luar negeri.

Hari-hari pertama setelah bencana alam, kita sibuk mencari dan menghitung mayat dan mengabaikan pertolongan untuk yang hidup. Media massa berlomba memberitakan angka kematian. Padahal, yang jauh lebih penting adalah manajemen kedaruratan prabencana.

Janganlah membabat hutan. Janganlah melanggar tata ruang. Janganlah membangun rumah di kaki dan pinggang gunung api. Janganlah mendirikan rumah di bantaran sungai dan sejumlah jangan lainnya. Kuasa alam mendaulat kuasa manusia.

Kita mencari sumber penyebab, setidak-tidaknya menjadi acuan untuk memperkecil korban sewaktu terjadi bencana alam yang serupa. Ajakan agar kita lebih ramah dan arif terhadap alam.

Lewat tabiat kebencanaan, yang lebih mendesak adalah kenali karakteristiknya, dampak ekonomis-sosial-budayanya. Untuk apa? Agar penanganan bencana alam tidak lagi gamang kikuk, sebaliknya tidak gegabah grasa-grusu.

Selamatkan korban banjir Wasior, tsunami Kepulauan Mentawai, dan letusan Gunung Merapi! Ketiganya analog. Ada kesamaan mendadak terjadi, korban masif. Ada perbedaan karakteristik.

Banjir terjadi karena hujan lebat, terjadi setelah pembalakan hutan. Tsunami terjadi karena keteledoran, penanda teknis dibiarkan rusak. Letusan gunung api yang paling menyita perhatian, tidak begitu terjadi lantas selesai, tetapi mempermainkan dan meneror emosi.

Menyelamatkan korban bencana alam bukan pernyataan, melainkan perintah. Caranya tidak memvonis, salah sendiri tinggal di lereng bukit! Salah sendiri tinggal di pantai! Salah sendiri tidak turun menghindari Merapi!

Jangan ucapkan pernyataan sinis dan tidak simpatik itu karena ketiganya menyisakan korban. Mereka kehilangan harta benda, terutama hidup sosialitas wajar sebelum terjadi bencana alam. Mengisi hari-hari di pengungsian membutuhkan ketahanan mental dan emosi, penyesuaian baru.

Selamatkan korban. Mereka bagian Indonesia. Selamatkan Indonesia! Siapa yang harus menyelamatkan? Kita, utamanya pengambil keputusan. Di sana mata ujian seberapa bobot kepemimpinan: komitmen, ketegasan.

Tahta untuk rakyat tidak lagi sekadar jargon bijak, tetapi perintah, tidak saja dirasakan sebagai ‘milik’ Ngayogyakarta, tetapi juga kepemimpinan nasional, selain kita menghargai cepat tanggapnya solidaritas rakyat.

Indonesia memiliki banyak contoh ekstrim bagaimana terjadi disorientasi terhadap realitas alam. Inilah negara dengan potensi kebencanaan tertinggi di dunia, tetapi di sini hidup subur tabiat kebencanaan yang amat rendah.

Inilah negara yang dikelola dengan semangat lupa waktu dan lupa tempat. Lebih banyak abai. Lalu, ketika bencana alam menghantam, dengan gampangnya mereka menyalahkan alam.

Mereka kesal, tetapi tidak mampu berbuat dan hanya mampu mengucap hajab sirajab bin mustajab seperti cakap Medan. Semakin pintar tipuannya, cepat-cepat kita mengangkatnya sebagai pahlawan. Celaka…

Euforia Sepakbola

In Uncategorized on f 31, 10 at 5:14 am

Pecinta sepakbola di Indonesia sedang euforia. Sepakbola memabukkan mereka. Tidak saja euforia di lapangan stadion, tetapi lebih banyak lagi yang euforia di luar lapangan stadion. Kemenangan kesebelasan Indonesia selama laga penyisihan dan semifinal Piala Suzuki, dulu disebut Piala Tiger, membuat para pemain terekspose.

Tiba-tiba para pemain tim nasional menjadi selebritas yang dielu-elu. Publik Indonesia, termasuk para pemimpin dan elite serta media massa, memperlakukan mereka seolah-olah telah juara dunia. Makanya, banyak waktu dihabiskan di luar lapangan. Mulai wawancara dengan media massa, sarapan pagi dengan keluarga yang mengaku berjasa banyak dalam sepakbola, hingga istigasah.

“Tidak ada pertandingan yang mudah. Semua pemain harus berkonsentrasi penuh di setiap pertandingan,” kata Manajer Manchester United (MU) Sir Alex Ferguson.

Kemenangan dan ekspose benar-benar euforia hingga kita tersadarkan setelah tim nasional ditekuk Malaysia tiga gol tanpa balas di leg pertama final sistem home and away. Markus, sang penjaga gawang, marah karena matanya diganggu sinar laser penonton Malaysia yang iseng. Di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, tim nasional Indonesia seperti pasukan yang teler. Mirip pemain kelas kampung.

Masih ada harapan Indonesia menjadi juara walaupun tipis karena harus mengalahkan Malaysia dengan selisih empat gol. Mau tidak mau, di leg kedua tim nasional Indonesia harus membalas agar agregatnya menjadi 4-3. Di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Indonesia, tim nasional harus seperti pasukan yang kuat dan cepat. Tidak lagi mirip pemain kelas kampung. Tapi, apa mau dikata, mereka hanya mampu menang 2;1. Piala pun milik Malaysia.

Gejala eforia juga terlihat menjelang home di Jakarta. Terjadi peristiwa terparah di luar Stadion Gelora Bung Karno, bukan saat pertandingan melainkan sebelumnya. Para penonton rebutan tiket pertandingan leg kedua. Massa kehilangan akal sehat karena terbuai kebanggaan pada ‘Garuda’. Para pemimpin negeri ini memakluminya sebagai gejala kemunculan nasionalisme yang mengalami defisit belakangan ini.

Stadion dirusak, rumput diinjak, dan petugas tiket digebuk sampai pingsan. Bahkan, ada pengantre yang meninggal. PSSI membuktikan dirinya sebagai organisasi yang tidak memahami kerja. Molor waktu penjualan, jumlah petugas tiket yang tidak berimbang dengan jumlah peminat, serta kealpaan jajaran PSSI yang bertanggung jawab di lapangan melengkapi inkompetensi PSSI.

Segala sesuatu yang overdosis pasti menimbulkan malapetaka. Manakah bagian yang overdosis? Publik, para pemimpin dan elite serta media massa terlalu menyeret sepakbola kita ke urusan di luar lapangan stadion atas nama macam-macam kepentingan. Padahal, sepakbola adalah, terutama, persoalan kompetensi di lapangan stadion.

Publik harus menggunakan akal sehat untuk mengapresiasi kemenangan dan kekalahan. Proporsionalitas menyelamatkan kualitas sepakbola karena dia hidup di tengah publik yang berkualitas juga. Tim nasional dan publik, termasuk para pemimpin dan elite serta media massa, akan menderita kalau semuanya euforia.

Apalagi, cita-cita kita masih jauh, yakni bermain di Piala Dunia sekaligus menjadi tuan rumahnya. Setelah diskualifikasi tahun 2022, Indonesia bersama Malaysia mencoba untuk tahun 2026. Bermain di Piala Dunia dan menjadi tuan rumah tentu saja menarik. Tapi, menuju ke sana kita harus melewati kompetisi yang seru karena mulai banyak negara yang memiliki reputasi persepakbolaan.

Keinginan menjadi tuan rumah harus didukung oleh prestasi. Padahal, harus diakui, prestasi kita, untuk level Asia saja, masih di bawah. Jujur, kita malah sering merasakan kemunduran prestasi. Alih-alih prestasi semakin berkembang, yang justru sering adalah baku hantam para pendukung kesebelasan. Ada wasit yang diperlakukan tidak sepantasnya, ada penonton yang gregetan lalu berlari di tengah lapanan dan menyarangkan bola, ada polisi yang mencampuri pertandingan, dan sebagainya.

Tentu, akan menyenangkan jika satu saat nanti, apakah tahun 2026 atau setelahnya, Indonesia bermain di Piala Dunia dan menjadi tuan rumahnya. Mumpung masih banyak waktu, pertama-tama kita harus memberesi persepakbolaan di dalam negeri. Kalau sudah ada tanda-tanda prestasi makin bagus, pembinaan makin apik, dan fasilitas olahraga juga makin baik, kita jauh lebih bangga mengenakan atribut ‘merah putih’.

Mengusik Keistimewaan Yogyakarta

In Uncategorized on f 31, 10 at 2:26 am

Jakarta “mengusik” keistimewaan Yogyakarta. Ketenangan Yogyakarta tidak hanya terganggu oleh bencana Gunung Merapi, tetapi juga oleh silang pendapat mengenai status keistimewaannya.

Status keistimewaan justru diwacanakan ketika perhatian Pemerintah dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta sedang mengupayakan rehabilitasi dan konstruksi pasca-bencana. Konsentrasi menjadi terpecah.

Silang pendapat menyangkut persoalan apakah gubernur dan wakil gubernur DIY “ditetapkan” seperti selama ini atau “dipilih”. Perdebatan tidak hanya silang pendapat di level elite dan pusat kekuasaan, tetapi juga menyembul di level alit dan pinggir kekuasaan antara kelompok pendukung dan penentang sistem pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung memilih konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY. Argumentasinya, antara lain semua kepala daerah harus dipilih secara demokratis, tidak terkecuali di DIY. Konsep yang diajukan pemerintah pusat dalam rancangan undang-undang keistimewaan DIY ternyata menimbulkan reaksi keras, terutama kalangan pendukung sistem penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY.

Ada yang menuding, momentum untuk mengangkat masalah status keistimewaan tidak tepat sama sekali karena pemerintah dan masyarakat DIY sedang terpukul oleh keganasan bencana Gunung Merapi. Substansi usulan pemerintahan Yudhoyono juga dipertanyakan. Bukankah keistimewaan Yogyakarta justru terletak pada proses penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY?

Tidak seperti Papua dan Papua Barat yang keistimewaannya pada alokasi kekhususan, atau Nanggroe Aceh Darussalam pada aturan kekhususan, keistimewaan Yogyakarta justru pada penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur. Terbukti pula, proses penetapan gubernur dan wakil gubernur tanpa pergolakan selama 65 tahun Indonesia merdeka. Gubernur dan wakil gubernur DIY hasil penetapan terbukti tidak bisa berkuasa semaunya juga karena dikontrol oleh hukum dan parlemen sebagai kekuatan checks and balances. Pemerintahan DIY berhasil mendorong proses pembangunan ekonomi dan sosial budaya.

Kiprah DIY di bawah kepemimpinan sultan merangkap gubernur dan adipati merangkap wakil gubernur membuktikan komitmen keindonesiaan yang kuat. DIY menjadi salah satu jangkar kuat, yang menopang semangat dan budaya kemajemukan, bhineka tunggal ika, dalam kerangka negara Republik Indonesia.

Sebagai persoalan, status keistimewaan Yogyakarta yang sejauh ini tidak menimbulkan keruwetan bagi bangsa dan negara keseluruhan bukan masalah yang mendesak untuk dijadikan prioritas agenda, sekurang-kurangnya saat ini. Masih banyak agenda krusial lainnya, seperti kemiskinan, pengangguran, dan infrastruktur yang justru menuntut perhatian yang besar.

Persoalan Berlapis-lapis, Watak Kepemimpinan Bagaimana?

In Uncategorized on f 30, 10 at 9:59 am

Masa krisis dan kacau memerlukan kepemimpinan negara yang berperan lebih besar dibanding masa normal dan stabil. Makanya, misalnya, di mana-mana bencana, termasuk bencana alam, bisa menjadi semacam tes kepemimpinan para pemimpin negara.

Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama membatalkan kunjungannya ke Indonesia bahkan dua kali karena urusan di dalam negeri. Ia mengutamakan penyelesaian masalah di dalam negerinya ketimbang ke Indonesia, yang juga penting sebagai bagian politik luar negeri Amerika Serikat.

Sebaliknya, Presiden Pakistan Asif Ali Zardari menjadi sasaran kritik dan kecaman di negerinya. Ketika rakyatnya bertarung melawan banjir yang menewaskan 1.600 orang, jutaan orang menjadi pengungsi yang kekurangan pangan tapi terserang penyakit, ia justru di Inggris.

Cerita yang mirip terjadi di Rusia. Gelombang panas dan kebakaran hutan, terutama di sekitar Moskwa yang menewaskan sekitar 100 orang setiap hari, mendorong orang untuk berani mengungkap kemarahannya bercampur kecewa kepada Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dan para pejabat Moskwa. Masyarakat menilai para pejabat gagal mengatasi bencana.

Kejadian di Rusia amat menarik. Mereka menuntut seorang pejabat yang selama ini dianggap berkuasa dan berpengaruh, bahkan lebih luas dan kuat daripada Presiden Dimitry Medvedev, agar mundur. Padahal, sejak terjadi kebakaran hutan di sekitar Moskwa dan gelombang panas, Putin terhitung sebagai pejabat yang sibuk untuk mengurusi bencana.

Bahkan, ia menjadikan dirinya sebagai pusat kegiatan untuk mengatasi bencana dan menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang bekerja sangat tegas, efektif, dan efisien dibanding Medvedev. Ternyata, yang dilakukan Putin belum memuaskan.

Dunia memuji Presiden Cile Sebastian Pinera. Apa yang diperlihatkannya melukiskan semua watak kepemimpinan. Ia menginspirasi dunia. Ia juga berempati, mengoordinasi, ia menuntaskan pekerjaannya. Pinera juga dekat dengan situasi kondisi krisis, hingga ia tak ragu mengurungkan lawatan ke Eropa. Terselamatkannya 33 pekerja tambang yang terjebak di liang pertambangan sedalam 700 meter selama 69 hari membuktikan keunggulan kepemimpinan Pinera. Presiden Bolivia Evo Morales pun ke Cile untuk menyambut satu-satunya pekerja tambang asal Bolivia, Carlos Mamani.

Perannya menghidupkan optimisme. Tatkala ia bertekad menyelamatkan petambang yang terjebak, beberapa kali ia diingatkan stafnya bahwa peluang penyelamatan kecil dan bisa lama. Tapi, Pinera bersiteguh dengan tekadnya menyelamatkan petambang. Presiden Cile juga memerintahkan agar perusahaan tambang mencairkan rekening petambang, hingga gaji mereka bisa diterima keluarga.

Di Indonesia, seakan menjadi pola, begitu sebuah persoalan lama tidak segera dibereskan maka kesulitan serta-merta menyusul persoalan baru. Pemerintah boleh mengakui telah berupaya mengatasi berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan keamanan tetapi rakyat belum puas. Ekspektasi perbaikan dan perubahan yang cepat dan jelas di kalangan rakyat telanjur meninggi, lebih-lebih dalam situasi kondisi pancaroba seperti yang dialami Indonesia.

Mungkin pula rakyat hanya menuntut dan berharap, atau tidak mau tahu kompleksitas persoalan. Setiap persoalan memiliki kompleksitasnya sendiri-sendiri. Kerumitan bertambah jika berbagai persoalan dengan kompleksitasnya dibiarkan menumpuk, tumpang tindih. Benar-benar menjadi benang kusut yang sulit diurai.

Sering terjadi Pemerintah kerepotan luar biasa karena terlambat turun tangan, sementara persoalan terlanjur merebak seperti kasus elpiji atau Jakarta. Pola penyelesaian melalui cara-cara biasa yang mungkin saja memadai di masa lalu tapi di masa kini terlalu lamban dan bertele-tele. Karenanya, diperlukan terobosan yang radikal dengan prioritas yang jelas.

Misalnya, kemiskinan dan pengangguran harus dikurangi melalui program yang terukur. Kesenjangan ekonomi yang kronis harus diperbaiki. Tidak sedikit warga yang hidup berkecukupan, tetapi masih banyak yang hidup kekurangan sandang, pangan, dan papan, termasuk kesehatan dan pendidikan. Kekayaan bagi segelintir orang berarti kemiskinan bagi orang lain

Kesenjangan semakin terasa hari-hari ini di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Daya beli yang rendah benar-benar membuat frustrasi sebagian warga, terutama yang berpenghasilan atau berpendapatan rendah. Tanpa mengabaikan persoalan penting lainnya, masalah kemiskinan dan pengangguran dan penciptaan kesejahteraan harus menjadi prioritas sesuai dengan amanat konstitusi.

Memprihatinkan jika konsentrasi menciptakan kesejahteraan sering terganggu oleh kegaduhan politik. Padahal, pilihan-pilihan besar sulit terlahir dari ketajaman pikiran politisi, tetapi dari penguasaan sains dan teknologi di bawah kepemimpinan nasional yang visioner, kuat, tegas, dan berwibawa.

Masa krisis dan kacau memang memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar dibanding masa normal dan stabil. Rakyat membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kesediaan dan kesadaran untuk mengambil risiko-risiko demi pencapaian sebuah tujuan yang luhur.

Watak kepemimpinan menjadi penting. Meskipun kepemimpinan adalah fitur yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, tapi tidak ada seorang pemimpin pun yang cocok untuk segala musim apalagi di era yang persoalannya berlapis-lapis seperti kini. Sangat dibutuhkan watak kepemimpinan yang mampu mengurai berbagai persoalan yang tumpang tindih.

Pemerintah Belum Gereget

In Uncategorized on f 30, 10 at 9:11 am

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono belum greget. Sekurang-kurangnya, kita merasakannya. Tentu saja, setiap perasaan kita bersifat subyektif. Meskipun subyektif, tidak ada salahnya dikemukakan asalkan bermaksud positif, yakni dijadikan sebagai refleksi.

Kita mulai. Kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II belum memadai. Tim ekonomi diharapkan mampu memberi gerak usaha yang kompak, dinamis, dan kreatif. Pun lingkungan swasta dan masyarakat luas. Tapi, beberapa persoalan non-ekonomi menyebabkan suasana kurang bergairah. Sebutlah persoalan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta kasus-kasus korupsi di kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.

Masa Kabinet Indonesia Bersatu II dimulai dengan sidang kabinet yang dihadiri lengkap menteri di Bali dipimpin Presiden dan Wakil Presiden. Juga diundang sejumlah pengusaha. Maknanya, Pemerintah menginginkan sinergi dengan swasta. Kemudian, dilakukan penilaian yang menunjukkan titik lemah kinerja menteri-menteri. Mungkin terlalu pagi, tetapi tak ada salahnya jika penilaian tersebut dicermati jujur dan serius.

Ada kegalauan jika mengamati faktor internal. Potret umum perekonomian nasional mendata pertumbuhan ekonomi 5,7% tetapi kualitasnya rendah untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Kita tidak harus menunggu pertumbuhan ekonomi 7% tahun 2014, karena sangat bisa dicapai andaikan Pemerintah membobol sumbatan pertumbuhan ekonomi.

Kinerja ekonomi membaik tetapi performanya belum optimal. Bahkan, stagnan jika dikalkulasikan dengan faktor pendorongnya. Anggaran negara untuk menstimulus akselerasi pertumbuhan ekonomi ternyata sangat rendah penyerapannya. Problemnya pada sistem dan pelaksananya, baik di pusat maupun di daerah. Sumbatan pertumbuhan ekonomi, seperti biaya tinggi, masih membebani pelaku usaha. Hambatan infrastruktur belum terpecahkan, seperti penyediaan lahan dan pembangunan jalan.

Memecahkan beberapa persoalan tersebut urgensinya adalah kita membutuhkan kapasitas kepemimpinan untuk mengeksekusi dan memastikan keterlaksanaan setiap program Pemerintah. Kita menekankan kinerja perekonomian, karena kecemasan yang kental dan kegelisahan yang kuat karena pertumbuhan ekonomi ternyata melempar sebagian warga ke sektor informal.

Kegalauan bertambah pekat setelah menyaksikan orang-orang bergerombol di sudut-sudut jalan. Hati pun kecut ketika menyaksikan panjangnya antrean orang-orang terdidik mencari dan melamar pekerjaan, serta berebut pekerjaan setiap kali digelar job expo. Fenomenanya merata di seluruh Tanah Air.

Beban berat bertambah menyusul persoalan baru seperti kenaikan tarif listrik dan sederet dampak ikutannya, lalu kenaikan tarif bus, kereta api, tol, dan air minum. Inflasi mengancam daya beli.

Masyarakat juga dibayangi ancaman bencana alam yang nyaris tiada henti. Banjir, longsor, gempa, dan gunung meletus memakan korban harta dan jiwa mereka. Pertanian di sejumlah wilayah mengalami kekeringan, diterjang banjir, dan dimakan hama.

Jika kita mengamati faktor internal, momentum kita tak bisa terlepas dari pengaruh global yang menuntut setiap negara dan bangsa bergerak cepat dan tepat. Satu urusan dalam negeri belum kelar, urusan berikutnya muncul tapi perkembangan luar negeri juga berubah. Krisis Eropa dan kurs China, misalnya. Kita membutuhkan kemampuan menganalisis SWOT (“kekuatan” atau strengths, “kelemahan” atau weaknesses, “kesempatan” atau opportunities, dan “ancaman” atau threats).

Karenanya, kita mendesak Pemerintah, juga pemeritnah daerah, agar memecahkan persoalan. Akumulasi persoalan tanpa solusi pasti bermuara pada kerawanan sosial. Kabinet ini yang terakhir bagi pemerintahan Yudhoyono. Rasional jika perhatian dikonsentrasikan pada keberhasilan, yakni meningkatnya kesejahteraan bagi rakyat, semakin banyaknya pekerjaan, serta semakin meratanya pendidikan. Termasuk bertambah majunya daerah-daerah. Apalagi, mengingat janji-janjinya.

Momentum kini seharusnya lebih kuat sebagai periode kedua yang terakhir baginya. Kita terdorong mengemukakannya karena komitmen untuk berkontribusi memberi masukan yang kritis tapi konstruktif. Perkembangannya belum terlambat. Momentumnya belum terlambat. Bagaimanapun, kita sekarang berkejaran dengan waktu.

Menjelang setahun pemerintahan mereka, tanggal 20 Oktober 2010 yang lalu, publik menuntut kehadiran Pemerintah yang lebih tegas dan cepat. Artinya, lebih jelas dan responsif selama melaksanakan kepemimpinannya. Ungkapan gouverner c’est prevoir, memerintah adalah melihat ke depan, tetap berlaku, bahkan disertai tekanan melihat secara lebih jelas, lebih responsif, serta terlaksana dalam realisasinya yang komprehensif.

Suasana tersebut terungkap memasuki pergantian akhir tahun setelah mengamati berbagai pendapat dan pikiran setahun ini. Jajak pendapat Penelitian dan Pengembangan Kompas untuk setahun pemerintahan Yudhoyono-Boediono mengindikasikan turunnya kepuasan publik terhadap kinerjanya. Padahal, situasi dan kondisi ekonomi dunia dan kepercayaan investasi yang membaik seharusnya dimanfaatkan untuk memperbaiki perekonomian sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Apa yang harus dilakukan? Segera memulihkan kepercayaan publik bahwa pemerintahan Yudhoyono-Boediono sanggup menyelenggarakan pemerintahan yang efektif, efisien, dan berwibawa yang melebihi periode Yudhoyono bersama Muhammad Jusuf Kalla. Kuncinya adalah sosok pemerintahan yang diharapkan bahkan dituntut berhasil diwujudkan para menteri dalam kabinetnya. Lebih efektif, efisien, dan berwibawa.

Kecerdasan dan kesigapan Pemerintah untuk memahami persoalan dan bertindak bijak diperlukan. Kaitannya, kita membutuhkan perombakan kabinet. Beberapa posisi kunci menteri sebaiknya diisi sosok yang ahli di bidangnya.

Kita sekarang berkejaran dengan waktu. Mengapa? Bukan sekadar sisa waktu empat tahun usia pemerintahan ini tetapi makna harapan dan kebutuhan publik yang mendesak. Karena yang terakhir bagi pemerintahan Yudhoyono, harapan dan kebutuhan publik menjadi rasional jika menuntut perhatian dikonsentrasikan pada keberhasilan. Periode yang terakhir bagi Yudhoyono sebagai masa pengabdian untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat.

WikiLeaks, Diplomasi, dan Dunia Penuh Curiga

In Uncategorized on f 30, 10 at 7:00 am

Pembocoran informasi oleh situs WikiLeaks membuat merah padam wajah Amerika Serikat. Dokumen berklasifikasi “rahasia” jatuh ke tangan pihak yang tidak berwenang. Kalau saja dokumen milik negara yang tidak canggih menangani informasi, kita mudah mengerti. Tapi, yang mengalami kebocoran informasi adalah negara yang maju teknologinya.

Dari kawat diplomatik antara kedutaan Amerika Serikat di sejumlah negara dan Washington DC, dunia mengetahui apa dan bagaimana penilaian diplomat Amerika Serikat tentang pemimpin dunia, yang banyak di antaranya sahabat-sahabat Amerika Serikat. Ada mengomentari kanselir Jerman, presiden Perancis, dan perdana menteri Inggris. Kalau hanya mengomentari pemimpin, di negara demokrasi itu lumrah. Yang menghebohkan, pemimpin negara-negara Arab atau Timur Tengah mengimbau Amerika Serikat untuk menyerang Iran guna menghentikan program nuklirnya.

Dalam persoalan menilai pemimpin, yang jadi kikuk adalah Amerika Serikat; sedangkan untuk persoalan Iran, tak disangsikan lagi yang terbongkar sikapnya adalah negara-negara Arab. Negara-negara Arab sahabat Amerika Serikat memilih tidak mengomentari informasi yang dibocorkan. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton meyakini hubungan diplomatik bisa menahan keguncangan antara Amerika Serikat dengan negara yang disebut-sebut.

Di luar reaksi, baik di negara-negara yang pemimpinnya disebut-sebut dalam kawat maupun di Amerika Serikat, pengamat internasional dan diplomasi bisa membandingkan apa yang disampaikan Amerika Serikat dalam diplomasinya, dan apa yang sebenarnya isi hati Amerika Serikat.

Untuk negara-negara Arab, ternyata apa yang dibicarakan di forum-forum internasional dan diplomasi berlainan dengan apa yang terungkap di belakang layar. Seperti dikutip International Herald Tribune, mana berani negara-negara Arab menyampaikan imbauan kepada Amerika Serikat untuk menyerang Iran. Masyarakat dunia mengetahui bagaimana sikap Arab Saudi terhadap Iran, misalnya.

Sekarang, masyarakat dunia juga mengetahui apa yang terjadi sebelum Israel menyerang Gaza; bagaimana hubungan antara presiden dan perdana menteri Rusia; bagaimana kebiasaan pemimpin Libya; bagaimana mafia di Rusia; bagaimana Amerika Serikat berusaha untuk mencampuri urusan di banyak negara; banyak persoalan lain menyangkut China, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak yang diketahui masyarakat dunia, sekurang-kurangnya mempertegas bahwa Amerika Serikat selalu ingin menjadi polisi di mana-mana.

Di luar reaksi juga, kita memahami maksud dan tujuan pembocoran oleh WikiLeaks sebagai bukti kuatnya visi Julian Assange, pendiri dan pemimpin redaksi situs yang kini amat masyhur di dunia. Dia sungguh berani, padahal Amerika Serikat sudah memperingatkan sebelum ia membocorkan isi kawat.

Kita memahami misi WikiLeaks, bahwa pembocoran isi kawat dilakukan untuk memerangi korupsi pemerintah dan korporasi. Mereka menyatakan apa diperbuat adalah demi ”keadilan” dan ”transparansi”. Keterbukaan yang berani. Awalnya kita hanya menduga-duga, akhirnya kita mengetahui ternyata di balik berbagai informasi yang dirilis, sebenarnya banyak informasi yang tersembunyi, dan boleh jadi maknanya bertolak belakang dengan informasi yang dirilis.

Nah, ada sebuah pertanyaan: Apakah ini pertanda berakhirnya diplomasi zaman kini?

Tidak gampang menjawabnya. Tetapi, pembocoran isi kabel diplomatik bukan perkara baru dalam dunia diplomasi. Malah, pembocoran rahasia diplomatik setua usia diplomasi itu sendiri, sejak pengiriman surat-surat rahasia menggunakan jasa merpati.

Dari kepentingan diplomasi, tindakan WikiLeaks akan mengurangi atau bahkan menghancurkan nuansa pokok atau inti seni diplomasi. Karena dasar terjadinya atau berlangsungnya diplomasi adalah kepercayaan, trust. Tanpanya, tidak mungkin terjalin hubungan. Karenanya, pembocoran sedikit pun ”rahasia” diplomasi sangat mencederai atau merusak kepercayaan.

Dalam banyak kasus, diplomasi tertutup mampu menyelesaikan masalah. Makanya, tidak mustahil akan tumbuh saling curiga di antara negara-negara, bangsa-bangsa. Kasus WikiLeaks juga tidak mustahil akan mempersulit pembangunan dan penguatan hubungan internasional. Tidak hanya diplomasi Amerika Serikat yang akan menghadapi kesulitan, tetapi juga negara-negara lain. Tugas para diplomat, para duta besar, pun akan lebih sulit. Mereka akan ”kekurangan” sumber informasi dan lebih berhati-hati.

Apakah itu berarti akan membuat diplomasi lebih tertutup; akan lebih sedikit laporan-laporan tertulis, para diplomat akan sedikit bicara, misalnya. Semuanya bisa terjadi dan kasus WikiLeaks akan mendorong kelahiran era diplomasi baru menanggapi perkembangan dan kemajuan teknologi informasi. Tantangan bagi dunia diplomasi.

Hikmahnya, di era informasi yang penuh liku dan jebakan, kita tak bisa begitu saja terlena hanya karena kelimpahan informasi. Ternyata, tetap—atau bahkan semakin—dibutuhkan kewaspadaan. Selain itu, dibutuhkan komunikasi yang jujur dan tulus, bahkan di antara negara-negara yang tergolong sahabat kita sekalipun.