Setelah mengabulkan gugatan pasangan calon Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memulihkan hak mereka untuk berlaga dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Jawa Timur tanggal 29 Agustus 2013. Mereka memenangi sengketa pencalonan dan semua pihak mesti menghormati keputusan DKPP ini agar sengketa tidak berkepanjangan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur bersikap zolim terhadap Khofifah-Herman sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur. Itu sebabnya, sidang pleno DKPP tanggal Rabu, 31 Juli 2013 memberhentikan sementara tiga anggota KPU yang mencoret pasangan calon tersebut. Ketua KPU Jawa Timur Andry Dewanto Ahmad pun diberi kartu kuning. Ia jelas ikut bertanggung jawab atas keputusan kontroversial tersebut.
DKPP, yang diketuai Jimly Asshidiqie, juga mencium indikasi suap. Terdapat bukti rekaman suara seorang pengurus partai yang mengaku menyiapkan dana Rp 3 miliar untuk pemenangan pasangan calon lain. Dalam percakapan itu, Andry disebut “telah dibereskan”. Karena DKPP hanya berwenang mengusut etik penyelenggara pemilu, dugaan suap ini diserahkan kepada penegak hukum.
Ahad, 14 Juli 2013, tengah malam, KPU Jawa Timur memutuskan hanya tiga pasangan calon peserta pemilukada: Eggy Sudjana-M Sihat, Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah, dan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Eggi-Sihat merupakan kandidat jalur perorangan. Bambang-Said diusung PDI Perjuangan. Petahana Soekarwo-Saifullah diusung koalisi Partai Demokrat, PPP, Partai Golkar, PAN, PKS, Partai Gerindra, Partai Hanura, PDS, PKNU, PBR, PBB, PNIM, PKDI, PDK, Partai Buruh, Partai Merdeka, PPDI, PDB, PSI, PPPI, RepublikaN, PBN, PNBKI, PPI, PPRN, Barnas, PPIB, PIS, Partai Pelopor, dan Partai Patriot.
KPU Jawa Timur mencoret Khofifah-Herman karena alasan dukungan ganda. Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) tak hanya mencalonkan pasangan calon ini, tapi juga pasangan calon inkumben. Meski memiliki jumlah suara yang kecil, dukungan kedua partai sangat penting bagi Khofifah-Herman. Kubu Khofifah memiliki modal dukungan 15,55% suara. Merujuk perolehan suara Pemilu 2009, Partai Kedaulatan 0,50 persen dan PPNUI mendapat 0,24 persen.
Tanpa suara kedua partainya, duet usungan PKB plus tiga partai politik non-parlemen (PKPB, PKPI, dan PMB) ini memiliki modal suara hanya 14,81 persen yang berarti tak bakal memenuhi syarat minimal pencalonan atau berpotensi berkurang 0,74 persen. Sesuai peraturan KPU Jawa Timur, untuk lolos sebagai pasangan calon harus memenuhi 15% suara atau 15% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur.
Dalam sidang pleno DKPP terungkap bahwa sokongan ganda itu direkayasa. Ternyata, tanda tangan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PPNUI Yusuf Humaidi dipalsukan untuk Soekarwo-Saifullah. Tapi, dalam verifikasi administrasi, KPU justru meloloskan surat bertanda tangan palsu itu dan menganggapnya sebagai dukungan ganda. Khofifah juga bersikukuh bahwa dirinya yang mendapat surat dukungan asli.
Surat dukungan Partai Kedaulatan untuk Soekarwo-Saifullah pun palsu. Surat itu diteken Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Kedaulatan Jawa Timur Ahmad Tony Dimyati, yang sejatinya diberhentikan sebagai pengurus partai bulan Mei 2012, jauh sebelum dukungannya diberikan kepada kubu Soekarwo-Saifullah. Dalam verifikasi administrasi, KPU juga meloloskan surat bertanda tangan palsu itu dan menganggapnya sebagai dukungan ganda.
Partai Kedaulatan dan PPNUI tanggal 14 Mei 2013 mengantar Khofifah-Herman ke KPU Jawa Timur. Namun, hari itu juga dua partai ikut mengantar Soekarwo-Saifullah. Surat keputusan Dewan Pimpinan Wilayah PPNUI tertanggal 14 Mei 2013 menetapkan dukungannya kepada Khofifah-Herman. Surat ditandatangani oleh Ketua DPW PPNUI Jawa Timur Drs M Ma’shum Zein, MA dan Sekretaris Budi Chidmadi. Ma’shum dan Budi dalam susunan kepengurusan DPW PPNUI Jawa Timur masa jabatan 2013-2018 yang termaktub dalam keputusan DPP PPNUI tertanggal 26 April 2013.
Demikian pula, Partai Kedaulatan yang memutuskan dukungan kepada Khofifah-Herman berdasarkan surat keputusan DPD Jawa Timut tertanggal 14 Mei 2013. Keputusan itu ditandatangani oleh Ketua DPD Partai Kedaulatan Jawa Timur Ahmad Isa Noercahyo dan Sekretaris KM Rosadi. Keduanya dalam susunan kepengurusan DPP Partai Kedaulatan yang ditetapkan tertanggal 8 Mei 2013 dan ditandatangani oleh Ketua Umum Denny M Cilah dan Sekretaris Jenderal Restianrick Bacharijun.
Sementara dalam berkas yang berbeda, DPP PPNUI menyatakan dukungannya kepada kubu Soekarwo. Surat itu ditandatangani oleh Ketua Umum PPNUI KH M Yusuf Humaidi, MA dan Sekretaris Jenderal Ir Andi William Irfan, MSc. Dilampirkan pula Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengesahkan Yusuf dan Andi William sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal. Surat tertanggal 13 Mei 2013 itu menyatakan mencabut kepengurusan lama dan mengangkat Abdul Rachman sebagai ketua dan KH Suaidi sebagai sekretaris.
Sedangkan Partai Kedaulatan melalui keputusan DPD Jawa Timur bernomor 004/DPD-PK/V/2013 tertanggal 6 Mei 2013 menyatakan mencabut dukungannya untuk kubu Khofifah dan memberikan rekomendasi untuk mendukung kubu Soekarwo. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua DPD Partai Kedaulatan Jawa Timur Kemas M Taufik dan Sekretaris Dwi Davisia Nurkholis.
Khofifah pun bersikukuh bahwa dirinya yang mendapat surat dukungan asli. Timnya juga melaporkan pemalsuan itu. Itu sebabnya, DKPP memerintahkan KPU pusat mengambil alih untuk sementara tugas dan kewenangan KPU Jawa Timur. Dengan keputusan ini, hak konstitusional Khofifah-Herman segera memulih. Keputusan DKPP juga mencegah sengketa administratif ini berlarut-larut hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan Mahkamah Agung (MA).
Lolosnya pasangan Khofifah-Herman Suryadi tentu saja membuat waswas Partai Demokrat. Khofifah merupakan saingan berat Soekarwo-Saifullah pada pemilukada tahun 2008. Kala itu, Khofifah berpasangan dengan Mudjiono, seorang brigadir jenderal (purnawirawan). Dia kembali menantang petahana. Kali ini dia berpasangan dengan seorang inspektur jenderal (purnawirawan), mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Soekarwo-Saifullah pun merapatkan barisan untuk membendung pasangan calon lain. Mereka menyiapkan strategi untuk menghadang kubu Khofifah. Mengapa? Dalam Pemilukada Jawa Timur terjadi perang antarbasis, yaitu antara Nahdlatul Ulama (NU) dan kalangan masyarakat nasionalis. Masing-masing partai pengusung pun mengirimkan sejumlah tokoh utama mereka untuk menggalang dukungan.
Misalnya, PDIP fokus menggarap wilayah Jawa Timur bagian Mataraman dan Madura untuk kemenangan Bambang-Said. Daerah Mataraman yang dimaksud meliputi Kediri, Nganjuk, Blitar, Tulung Agung, Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, dan Pacitan. Sedangkan Madura dipilih karena Said, tokoh sekaligus pengusaha, berasal dari dan terkenal di pulau garam itu. Bambang adalah Wakil Walikota Surabaya yang mengundurkan diri dan mantan Walikota Surabaya dua periode.
Daerah itu yang paling mungkin digarap, karena daerah lain merupakan basis NU yang pasti disasar dua pasangan calon lain, yaitu Khofifah yang merupakan Ketua Umum Fathayat NU dan Saifullah yang mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor. Selain itu, PDIP juga fokus mengejar suara massa mengambang untuk menambah 20 persen suara simpatisan dan kader partai. Partai banteng itu menerjunkan sejumlah juru kampanye seperti sang ketua umum, Megawati Soekarnoputri, dan anak emasnya, Puan Maharani. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga bakal berkampanye.
Pemilukada Jawa Timur memang terindikasi banyak praktik kecurangan yang terencana. Kecurangannya teknis, bukan normatif. Publik gampang menuduh bahwa dualisme Partai Kedaulatan dan PPNUI sebagai “permainan” kubu Soekarwo untuk mengganjal kubu Khofifah. Soekarwo-Saifullah tidak membutuhkan dukungan dua partai itu karena dukungan buat mereka sudah lebih dari cukup. Jelas, ini bukan inisiatif dua partai itu, tapi kepentingan Soekarwo-Saifullah.
Kubu Khofifah percaya diri menyebut intrik politik dari kubu petahana sebagai bentuk ketakutan terhadap pasangan calon yang murni dari golongan Nahdliyin. Saat Pemilukada nanti, jumlah pemilih mencapai kisaran 29,8 juta orang. Dari jumlah itu, 24 juta di antaranya warga Nahdliyin. Jadi, wajar jika mereka ketakutan.
Selain lawan politik dari kubu petahana, pihak lain yang ikut bertanggung jawab adalah KPU Jawa Timur. Publik justru mempertanyakan KPU Jawa Timur yang tidak mampu membedakan surat asli dan palsu. Yang bisa mencabut surat dukungan itu hanya ketua umum. Kubu Khofifah mensinyalir KPU Jawa Timur membiarkan pemalsuan surat dukungan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi KPU di berbagai daerah yang sering berpihak kepada salah satu pasangan calon. Tak semestinya mereka membuat keputusan yang tidak adil karena hanya mengakibatkan proses demokrasi menjadi penuh sengketa dan membingungkan rakyat. Memang kubu Khofifah begitu dikuyo-kuyo. Bau persekongkolannya terasa menyengat lewat pentransaksian atau “jual-beli” dukungan, sehingga terjadi dukungan asli dan dukungan palsu.