Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ternyata tak sendirian menolak kebijakan mobil murah, yang salah kaprah disebut mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC). Kepala daerah lainnya juga memiliki persepsi yang sama dengan Jokowi, panggilan akrabnya. Mereka menolak kebijakan mobil murah karena justru menyebabkan persoalan transportasi semakin ruwet, khususnya kota-kota di Indonesia. Polemik terakhir sebetulnya dipicu sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang frontal menolak beleid tersebut dan menyatakannya hanya akan menambah kemacetan di Jakarta. Jokowi telah berkirim surat kepada Wakil Presiden Boediono dan menyampaikan keberatannya dan kebijakan itu melawan 17 instruksi Wakil Presiden tentang permasalahan Ibukota.
Selain Jokowi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Solo Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, dan Walikota Bandung Ridwan Kamil juga beranggapan sama. Mereka mengkhawatirkan dampak beleid pemerintah pusat (Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan). Meski banyak yang sepaham, mereka belum ingin berkumpul agar pemerintah pusat mendengar suara mereka. Jokowi dan kepala daerah lainnya memang tak sanggup melarang masyarakat yang membeli mobil murah. Pemerintah daerah belum bisa menyiapkan transportasi massal yang nyaman dan murah agar masyarakat beralih ke kendaraan umum sekaligus mengurai kemacetan di jalanan Ibukota yang jumlah kendaraannya sudah mencapai 6,1 juta unit.
Selama ini, di satu sisi, pemerintah pusat selalu mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Transportasi massal di DKI Jakarta rencananya mulai dikerjakan bulan Oktober tahun ini. Tetapi, penataan transportasi untuk mengatasi kemacetan dengan menyiapkan moda transportasi massal seperti bus sedang, mass rapid transit, dan monorel, di lain sisi, pemerintah pusat malah mengeluarkan kebijakan LGCC. Untuk mengatasi kemacetan, Jokowi menerapkan pembatasan pelat nomor ganjil-genap, setelah itu menerapkan jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP), pajak progresif, dan zonasi parkir bertarif mahal. Ia bisa berlandaskan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menyebutkan kewenangan Gubernur DKI dalam membuat aturan tentang penataan Ibukota. Ia juga mempertimbangkan untuk mengeluarkan peraturan daerah yang membatasi pergerakan mobil mewah. Namun, Jokowi mengaku tidak bisa mengambil langkah apa pun untuk membatalkan kebijakan mobil murah itu.
Pemerintah pusat seharusnya mendukung pemerintah daerah untuk mengatasi kemacetan dengan memperbaiki transportasi massal yang nyaman dan murah. Bukan malah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif. Bukankah pemerintah pusat pernah membuat 17 langkah mengatasi kemacetan Ibukota dan poin 13 menyatakan urgensi pembatasan kendaraan bermotor mengingat tingginya konsumsi bahan bakar dan angka penjualan kendaraan bermotor. Menanggapi respons Jokowi, Menteri Perindustrian Mohammad Suleman Hidayat menilai Jokowi berlebihan. Dia meminta Jokowi memikirkan rakyatnya yang berpenghasilan menengah ke bawah. Hidayat kembali angkat bicara. Dia mengaku menjadi salah satu penyebab kemacetan di Jakarta. Dia pun beralasan, produksi LCGC merupakan strategi untuk mengantisipasi kawasan perdagangan bebas ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) yang berlaku mulai tahun 2014. Wakil Presiden Boediono setali tiga uang. Ia menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan lepas tangan dalam mengatasi kemacetan di Jakarta. Tetapi, solusi yang ditawarkan pemerintah pusat bukan membatasi atau menghentikan produksi mobil murah ramah lingkungan.
Sembari pemerintah pusat menarik peraturan itu, pemerintah daerah sedang berupaya mengalihkan kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi agar mengurangi kemacetan. Namun, pemerintah pusat malah membiarkan mobil murah dijual bebas. Kebijakan itu memang terus menuai kritik. Kebijakan itu dianggap keliru dan dikhawatirkan justru menyebabkan kemacetan. Pemerintah pusat semestinya bekerja sama dengan pemerintah daerah memperkuat infrastruktur transportasi massal, termasuk kereta api dan kapal laut. Sejalan dengan itu, penggunaan kendaraan pribadi harus dibatasi, apalagi kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Mobil murah yang sedang ramai di pasar otomotif nasional saat ini sebatas bahasa marketing. Apanya yang ramah lingkungan?
Green car itu mobil ramah lingkungan. Salah satu cirinya ialah bahan bakarnya energi terbarukan, bukan energi fosil. Bahan bakar mobil murah yang gencar dipromosikan itu masih menggunakan energi fosil, tepatnya pertamax. Penggunaan energi terbarukan dapat mengurangi polusi udara. Program mobil murah yang ramah lingkungan semestinya pro-lingkungan. Tapi mobil murah ini? Sepanjang tahun 2013, produksi LCGC bisa mencapai 30 ribu unit. Jumlah ini hanya 3 persen dari total produksi pabrik kendaraan nasional. Jadi, mobil murah bukan mobil ramah lingkungan! Tak hanya mengkritisi klaim sebagai mobil ramah lingkungan, yang juga menjadi pertanyaan adalah harga mobil murah itu. Karena sejatinya, kisaran harga di atas Rp100 juta belum bisa terbilang sebagai mobil murah. Kebijakan LCGC tidak strategis karena pemerintah pusat mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang diarahkan untuk menstabilkan neraca perdagangan tetapi produksi LCGC membutuhkan banyak impor yang jelas-jelas tidak tertahankan. Jadi, kebijakan ini tidak berorientasi pada penghematan.
Kebijakan LCGC ini mendapatkan insentif pemerintah pusat. Dari dulu pemerintah pusat memang menginginkan kelahiran mobil ramah lingkungan. Bahkan pemerintah pusat memberikan insentif kepada produsen yang memproduksi mobil murah. Aturan mengenai LCGC ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Permenperin itu turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon (LEC) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang kendaraan yang dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Peraturan itu antara lain menyebutkan keringanan pajak bagi penjualan mobil hemat energi yang memungkinkan produsen mobil menjual mobil di bawah Rp 100 juta. Dengan peraturan itu, mobil berkapasitas di bawah 1.200 cc dan mengonsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM. Kebijakan ini membuat produsen bisa menekan harga jual.
Sikap pemerintah pusat benar-benar mencurigakan. Begitu menggebu-gebu mendukung program LCGC ketimbang produsennya sendiri. Dia malah mendukung program korporasi kapitalis asing. Mengapa tidak mendukung PT Solo Manufaktur Kreasi, produsen mobil Esemka, yang mengeluarkan mobil murah ramah lingkungan. Padahal, menteri sekadar regulator kebijakan perindustrian. Pemerintah pusat seharusnya fokus pada perbaikan moda transportasi massal. Daerah-daerah yang bukan kota-kota besar di luar Jawa, terutama daerah-daerah terpencil, memerlukan moda transportasi massal untuk mendukung mobilitas orang dan barang yang beradaptasi dengan geografis daerah bersangkutan. Mereka bukan membutuhkan mobil murah, melainkan kendaraan umum yang fleksibel mengangkut orang dan barang.
Lantas, bagaimana antisipasi pemerintah daerah, utamanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menghadapi kebijakan mobil murah itu? Menarik untuk menjadi isu mobil murah ini sebagai perdebatan publik. Jokowi telah memulainya…