imsitumeang

Archive for September, 2013|Monthly archive page

Jokowi Tak Sendirian Menolak Mobil Murah

In Uncategorized on f 25, 13 at 11:41 am

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ternyata tak sendirian menolak kebijakan mobil murah, yang salah kaprah disebut mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC). Kepala daerah lainnya juga memiliki persepsi yang sama dengan Jokowi, panggilan akrabnya. Mereka menolak kebijakan mobil murah karena justru menyebabkan persoalan transportasi semakin ruwet, khususnya kota-kota di Indonesia. Polemik terakhir sebetulnya dipicu sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang frontal menolak beleid tersebut dan menyatakannya hanya akan menambah kemacetan di Jakarta. Jokowi telah berkirim surat kepada Wakil Presiden Boediono dan menyampaikan keberatannya dan kebijakan itu melawan 17 instruksi Wakil Presiden tentang permasalahan Ibukota.

Selain Jokowi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Solo Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, dan Walikota Bandung Ridwan Kamil juga beranggapan sama. Mereka mengkhawatirkan dampak beleid pemerintah pusat (Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan). Meski banyak yang sepaham, mereka belum ingin berkumpul agar pemerintah pusat mendengar suara mereka. Jokowi dan kepala daerah lainnya memang tak sanggup melarang masyarakat yang membeli mobil murah. Pemerintah daerah belum bisa menyiapkan transportasi massal yang nyaman dan murah agar masyarakat beralih ke kendaraan umum sekaligus mengurai kemacetan di jalanan Ibukota yang jumlah kendaraannya sudah mencapai 6,1 juta unit.

Selama ini, di satu sisi, pemerintah pusat selalu mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Transportasi massal di DKI Jakarta rencananya mulai dikerjakan bulan Oktober tahun ini. Tetapi, penataan transportasi untuk mengatasi kemacetan dengan menyiapkan moda transportasi massal seperti bus sedang, mass rapid transit, dan monorel, di lain sisi, pemerintah pusat malah mengeluarkan kebijakan LGCC. Untuk mengatasi kemacetan, Jokowi menerapkan pembatasan pelat nomor ganjil-genap, setelah itu menerapkan jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP), pajak progresif, dan zonasi parkir bertarif mahal. Ia bisa berlandaskan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menyebutkan kewenangan Gubernur DKI dalam membuat aturan tentang penataan Ibukota. Ia juga mempertimbangkan untuk mengeluarkan peraturan daerah yang membatasi pergerakan mobil mewah. Namun, Jokowi mengaku tidak bisa mengambil langkah apa pun untuk membatalkan kebijakan mobil murah itu.

Pemerintah pusat seharusnya mendukung pemerintah daerah untuk mengatasi kemacetan dengan memperbaiki transportasi massal yang nyaman dan murah. Bukan malah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif. Bukankah pemerintah pusat pernah membuat 17 langkah mengatasi kemacetan Ibukota dan poin 13 menyatakan urgensi pembatasan kendaraan bermotor mengingat tingginya konsumsi bahan bakar dan angka penjualan kendaraan bermotor. Menanggapi respons Jokowi, Menteri Perindustrian Mohammad Suleman Hidayat menilai Jokowi berlebihan. Dia meminta Jokowi memikirkan rakyatnya yang berpenghasilan menengah ke bawah. Hidayat kembali angkat bicara. Dia mengaku menjadi salah satu penyebab kemacetan di Jakarta. Dia pun beralasan, produksi LCGC merupakan strategi untuk mengantisipasi kawasan perdagangan bebas ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) yang berlaku mulai tahun 2014. Wakil Presiden Boediono setali tiga uang. Ia menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan lepas tangan dalam mengatasi kemacetan di Jakarta. Tetapi, solusi yang ditawarkan pemerintah pusat bukan membatasi atau menghentikan produksi mobil murah ramah lingkungan.

Sembari pemerintah pusat menarik peraturan itu, pemerintah daerah sedang berupaya mengalihkan kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi agar mengurangi kemacetan. Namun, pemerintah pusat malah membiarkan mobil murah dijual bebas. Kebijakan itu memang terus menuai kritik. Kebijakan itu dianggap keliru dan dikhawatirkan justru menyebabkan kemacetan. Pemerintah pusat semestinya bekerja sama dengan pemerintah daerah memperkuat infrastruktur transportasi massal, termasuk kereta api dan kapal laut. Sejalan dengan itu, penggunaan kendaraan pribadi harus dibatasi, apalagi kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Mobil murah yang sedang ramai di pasar otomotif nasional saat ini sebatas bahasa marketing. Apanya yang ramah lingkungan?

Green car itu mobil ramah lingkungan. Salah satu cirinya ialah bahan bakarnya energi terbarukan, bukan energi fosil. Bahan bakar mobil murah yang gencar dipromosikan itu masih menggunakan energi fosil, tepatnya pertamax. Penggunaan energi terbarukan dapat mengurangi polusi udara. Program mobil murah yang ramah lingkungan semestinya pro-lingkungan. Tapi mobil murah ini? Sepanjang tahun 2013, produksi LCGC bisa mencapai 30 ribu unit. Jumlah ini hanya 3 persen dari total produksi pabrik kendaraan nasional. Jadi, mobil murah bukan mobil ramah lingkungan! Tak hanya mengkritisi klaim sebagai mobil ramah lingkungan, yang juga menjadi pertanyaan adalah harga mobil murah itu. Karena sejatinya, kisaran harga di atas Rp100 juta belum bisa terbilang sebagai mobil murah. Kebijakan LCGC tidak strategis karena pemerintah pusat mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang diarahkan untuk menstabilkan neraca perdagangan tetapi produksi LCGC membutuhkan banyak impor yang jelas-jelas tidak tertahankan. Jadi, kebijakan ini tidak berorientasi pada penghematan.

Kebijakan LCGC ini mendapatkan insentif pemerintah pusat. Dari dulu pemerintah pusat memang menginginkan kelahiran mobil ramah lingkungan. Bahkan pemerintah pusat memberikan insentif kepada produsen yang memproduksi mobil murah. Aturan mengenai LCGC ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Permenperin itu turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon (LEC) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang kendaraan yang dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Peraturan itu antara lain menyebutkan keringanan pajak bagi penjualan mobil hemat energi yang memungkinkan produsen mobil menjual mobil di bawah Rp 100 juta. Dengan peraturan itu, mobil berkapasitas di bawah 1.200 cc dan mengonsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM. Kebijakan ini membuat produsen bisa menekan harga jual.

Sikap pemerintah pusat benar-benar mencurigakan. Begitu menggebu-gebu mendukung program LCGC ketimbang produsennya sendiri. Dia malah mendukung program korporasi kapitalis asing. Mengapa tidak mendukung PT Solo Manufaktur Kreasi, produsen mobil Esemka, yang mengeluarkan mobil murah ramah lingkungan. Padahal, menteri sekadar regulator kebijakan perindustrian. Pemerintah pusat seharusnya fokus pada perbaikan moda transportasi massal. Daerah-daerah yang bukan kota-kota besar di luar Jawa, terutama daerah-daerah terpencil, memerlukan moda transportasi massal untuk mendukung mobilitas orang dan barang yang beradaptasi dengan geografis daerah bersangkutan. Mereka bukan membutuhkan mobil murah, melainkan kendaraan umum yang fleksibel mengangkut orang dan barang.

Lantas, bagaimana antisipasi pemerintah daerah, utamanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menghadapi kebijakan mobil murah itu? Menarik untuk menjadi isu mobil murah ini sebagai perdebatan publik. Jokowi telah memulainya…

Bukan mengimpor, tapi kemandirian pangan!

In Uncategorized on f 13, 13 at 12:17 pm

Sungguh miris kondisi pangan di negeri ini. Setelah dihantam kenaikan harga daging, karena melonjaknya permintaan dan menurunnya persediaan, giliran harga kedelai yang melambung. Juga terjadi untuk beras. Sungguh miris lagi jika ditelaah solusi pemerintah: impor! Maksud awalnya, agar persediaan meningkat, sehingga akhirnya bisa menstabilkan harga komoditi itu, meski harga yang bisa dijangkau masyarakat pun masih terbilang tinggi. Impor hanya bisa mencegah kelangkaan persediaan, namun inti persoalan sebenarnya tidak terselesaikan.

Impor komoditi tertentu hanya menyelesaikan masalah yang temporary. Mengapa? Karena harga daging, beras, dan garam atau komoditi lainnya rentan bergejolak setiap musim. Fluktuasinya selalu menghantui masyarakat karena pemerintah hanya bisa mencegah kelangkaan persediaan tapi tidak terselesaikan, meskipun negeri ini mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Perikanan, peternakan, dan pertanian adalah ilmu warisan nenek moyang kita. Sumber daya alam yang dikandung tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan menjadi modal besar menuju ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal.

Sumber daya manusia pun tak jauh berbeda. Ilmu warisan nenek moyang itu bisa dikombinasikan dengan modernisasi perikanan, peternakan, dan pertanian yang dipelajari. Sayangnya, pemerintah seperti enggan mengambil langkah ini. Pejabat di kementerian perikanan, peternakan, dan pertanian sangat ngeh dengan sumber daya di negeri ini untuk mewujudkan kemandirian pangan. Sejak era reformasi dimulai, sekitar 15 tahun yang lalu, pemerintah tak lagi memiliki visi dan misi untuk mengelola sumber daya ini. Padahal, kebutuhan pangan akan senantiasa terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk.

Namun, bukankah kondisi itu bisa diprediksi dan dinalar, sehingga pemerintah bisa melakukan perencanaan dan antisipasi dengan mengelola sumber daya yang dimiliki? Pengembangan kawasan sentra perikanan, peternakan, dan pertanian itu didukung ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), agar bersinergi dengan program pemberdayaan ekonomi. Wilayah Indonesia ini sangat luas. Indonesia memiliki daerah-daerah unggulan untuk dijadikan sentra ikan, daging, padi, atau komoditi potensial lainnya.

Pemerintah tinggal menggelorakan gairah berbudidaya, beternak, dan bertani serta memberdayakan para nelayan, peternak, dan petani, dan mengembangkan sentra perikanan, peternakan, dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Senyampang itu, pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan daerah merumuskan undang-undang yang mengamanatkan perlindungan dan pemberdayaan komprehensif terhadap nelayan, peternak, dan petani serta usaha mereka. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan kemandirian nelayan, peternak, dan petani dalam meningkatkan taraf kesejahteraan mereka.

Perlindungan terhadap nelayan, peternak, dan petani serta usaha mereka dilakukan untuk melindungi mereka dari berbagai masalah yang dihadapi, seperti keterbatasan akses sarana dan prasarana, ketidakpastian usaha, dan ketidakkondusifan pasar. Sementara itu, pemberdayaan dilaksanakan untuk mewujudkan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja nelayan, peternak, dan petani serta menumbuhkembangkan kelembagaan mereka agar mampu berdaya saing.

Adapun strategi perlindungan dan pemberdayaan nelayan, peternak, dan petani yang diatur ini adalah prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, harga komoditi, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini, dan penanganan dampak perubahan iklim, serta asuransi pertanian. Pemberdayaan dan perlindungan ini akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi perikanan, peternakan, dan pertanian, penurunan jumlah penduduk miskin, perwujudan ketahanan pangan berkelanjutan, dan pada akhirnya pembangunan ekonomi, sosial, dan politik nasional.

Hampir seluruh wilayah perairan Indonesia bisa menjadi sentra perikanan, termasuk sebagian besar pesisir pantai sebagai sentra garam. Maluku telah lama ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional setelah Sail Banda guna menjamin ketersediaan produk perikanan berkelanjutan. Dengan komposisi laut yang mencapai 92,4% atau 712.479,65 km², Maluku memiliki alasan untuk melanjutkan program percepatan pelaksanaan kebijakan lumbung ikan nasional di Maluku untuk dapat segera mendongkrak peningkatan ekonomi daerah maupun nasional.

Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur bisa berkembang sebagai sentra sapi untuk menjaga persediaan daging guna mendukung pencapaian target swasembada daging tahun 2014. Pemerintah tinggal mengembangkan kawasan sentra produksi peternakan di sana karena telah menjadi kawasan pembibitan sapi sejak dulu.

Sumatera, Sulawesi, dan Papua bisa berkembang sebagai sentra padi di luar Jawa dan Bali. Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, misalnya, juga bisa berkembang sebagai sentra sayur-mayur dan buah-buahan. Pengembangan budidaya sayuran dan buah-buahan memiliki prospek yang sangat baik di lndonesia karena keadaan agroklimatologis lndonesia yang mendukung. Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua bisa berkembang sebagai sentra produksi perkebunan seperti sawit, kopi, teh. Beberapa daerah juga berpotensi sebagai penghasil cengkeh dan pala. Dibutuhkan upaya besar-besaran untuk mengembalikan kejayaan Maluku sebagai sentra produksi rempah-rempah di dunia.

Upaya swasembada pangan itu harus diikuti oleh pengembangan industri olahan untuk menampung ketersediaan pangan. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua bersiap sebagai sentra energi yang mendukung industrialisasi pengolahan hasil perikanan, peternakan, dan pertanian. Peran iptek sangatlah penting dalam upaya mendukung peningkatan daya saing produksi perikanan, peternakan, dan pertanian serta pengembangan industri olahan pangan. Kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) diarahkan pada kebutuhan iptek yang menunjang swasembada pangan, baik di sektor hulu (produksi), sektor hilir (olahan), sektor penunjang (seperti pakan dan rumah potong hewan), dan pembangunan modal sosial masyarakat. Selain itu, pengembangan iptek untuk menjamin ketersediaan pakan, dan pengembangan kawasan terpadu (klaster) inovasi perikanan, peternakan, dan pertanian untuk mengintegrasikan dan menyinergikan aktivitas litbang dengan dunia usaha yang menghasilkan produk industri perikanan-peternakan-pertanian.

Sayang, pemerintah sepertinya tidak mempunyai konsep sehingga tidak mampu memberikan solusi. Pemerintah hanya melanggengkan praktek makelar yang hanya mampu mengimpor pangan dan menjualnya di sini. Semestinya pemerintah membangun semangat produsen, sehingga Indonesia tidak bergantung produksi pangan bangsa lain, karena impor pasti hanya menyebabkan bangsa ini akan bergantung terus-menerus pada bangsa lain. Sungguh miris jika pemerintah hanya bisa mencegah kelangkaan persediaan tanpa bisa menyelesaikan inti persoalan sebenarnya.

Dibutuhkan pemimpin yang bisa mengoptimalkan pengelolaan sumber daya di seluruh wilayah negeri ini dan menghapus mental makelar. Sekali lagi, Indonesia sangat kaya sumber daya yang semestinya mampu membangun semangat produsen, bukan mental makelar. Jika pemimpin ini mampu mengoptimalkan pengelolaannya dengan sangat baik, Indonesia akan mempunyai kemandirian sekaligus kedaulatan pangan. Bukan membutuh pemimpin pintar dan berintegritas yang mampu membangkitkan bangsa ini berdiri di atas kakinya sendiri.

Rudi dan Mafia Migas

In Uncategorized on f 6, 13 at 12:10 pm

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini karena kasus suap! Ia diduga menerima uang suap PT Kernel Oil Pte Ltd Indonesia melalui Simon Gunawan Tanjaya, komisarisnya, ihwal pengurusan migas di SKK Migas, melalui pelatih golfnya, Deviardi.

Informasi di Selasa (13/08) malam itu mengagetkan sebagian orang karena tidak mengira sosok profesor Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut tersangkut kasus yang begitu nista dan selama ini menjadi penyakit yang menggerogoti sendi kehidupan bangsa ini. Penangkapan mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu langsung membuyarkan imej bahwa pelaku korupsi hanya mereka yang berlatar politisi, birokrasi, atau penegak hukum.

Ternyata, mereka yang berlatar intelektual—identik dengan kesederhanaan dan pemikiran kritis—juga berperilaku jauh dari etika layaknya akademisi. Tentu saja kabar penangkapan doktor lulusan Technische Universitaet, Clausthal, Jerman, itu melahirkan kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk. Sebagian orang kecewa karena mereka sebenarnya berharap pada kredibilitas akademisi untuk menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini dan menjadi antitesis perilaku politisi yang kian menyebalkan.

ITB, sebagai almamater, lebih kecewa lagi sebab kasus yang menyeret mantan Sekretaris Jurusan Teknik Perminyakan itu seperti menyiram kotoran ke wajah kampus terkemuka di Tanah Air itu. Salah satu dosen teladan yang mempunyai karier melesat bak roket dan semestinya menjadi kebanggaan ternyata memanfaatkan posisi yang didudukinya bukan untuk melakukan perubahan, melainkan untuk memperkaya diri sendiri.

Godaan materi ternyata mampu menggoyahkan keteguhan kredibilitas seorang Rudi. Entah disadari atau tidak, orang Tasikmalaya yang selama ini dikenal sederhana, seperti selalu mudik menaiki kereta api ekonomi, mengandung bibit keserakahan. Betapa tidak, selain menjabat kepala SKK Migas, dia juga dipercaya menduduki posisi sebagai komisaris Bank Mandiri. Dua jabatan tersebut sudah barang tentu menghasilkan pendapatan yang sangat besar.

Ibarat menjaring ikan, Rubi adalah tangkapan kakap. Ini bukan saja karena sitaan yang diperoleh KPK dari operasi tangkap tangan sebagai yang terbanyak sepanjang sejarah KPK, yakni 490.000 dolar Amerika Serikat dan 127.000 dolar Singapura plus motor gede merek BMW (Bayerische Motoren Werke). Lebih dari itu, tangkapan kali ini pun terbilang kakap karena posisi Rudi di SKK Migas yang sebelumnya bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Ibarat kentut, selama ini banyak yang mencium aroma tidak sedap di lembaga itu, tapi gagal terbukti.

Kecurigaan ini salah satunya diucapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mohammad Mahfud MD yang mengaku banyak mengetahui sinyalemen tersebut saat mengadili gugatan judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, termasuk dugaan penyelewengan keuangan negara dalam proyek yang dilakukan BP Migas ketika itu. BP Migas terlalu detail mengatur (teknis dan mikro) berbagai proyek migas. Sinyalemen lain yang fantastis ialah biaya sewa gedung di Wisma Mulia selama lima tahun yang mencapai Rp 307,3 miliar. Cobalah bandingkan dengan biaya pembangunan Gedung KPK yang cuma Rp 100 miliar, tentu sangat fantastis. Pasti ada korupsi!

Kasak-kusuk yang muncul sebelumnya selalu raib entah ke mana. Penangkapan Rudi kontan membuktikan berbagai kecurigaan korupsi di lembaga yang bertugas mengelola usaha kegiatan hulu minyak dan gas bumi tersebut. KPK jangan kalah cerdik jika belakangan kasus ini dilokalisir PT Kernel Oil Pte Ltd Indonesia setelah mereka membantah sebagai pihak penyuap Rudi. Simon juga menutupi peran pihak lain.

Menjadi lumrah jika sebagian orang seperti Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Muhammad Din Syamsuddin menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membubarkan SKK Migas, karena hanyalah wujud lain BP Migas yang sebelumnya dibubarkan MK. Kewenangan itu di tangan Susilo. Ketua MK Mohammad Akil Mochtar mengatakan kendati MK menghapusnya dalam Undang-Undang Migas lantaran inkonstitusional, SKK Migas dibentuk berdasarkan keputusan Presiden.

Saat bersamaan, penangkapan itu bisa menjadi momentum untuk membongkar mafia yang mengangkangi sektor migas. Syahwat korupsi para pengelola migas tak bisa teredam. Dulu korupsi akibat monopoli meruyak di Pertamina, kini virus rasuah menyebar ke petinggi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dalam penggeledahan berikutnya, KPK menemukan uang 200.000 dolar Amerika Serikat di ruangan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno. Sekretaris SKK Migas Gde Pradnuana juga diperiksa sebagai saksi yang mengetahui, melihat, mendengar, atau ahli kasus dugaan suap. Kita pun setuju jika KPK menjatuhkan sanksi kepada Rudi, berupa larangan menerima kunjungan.

Desakan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit ulang laporan keuangan SKK Migas terus bergulir oleh pengiat antikorupsi adalah wajar, pengauditan ulangnya sejak bernama BP Migas pada era Raden Priyono hingga kini. Suap itu jelas bukan kali pertama. Juga desakan agar KPK segera memeriksa Jero Wacik dalam kapasitasnya selaku Menteri ESDM. Ia tak mungkin lepas tanggung jawab atas kejadian di kementeriannya.

Tertangkaptangannya Rudi sudah menggelinding bagaikan “bola liar”, sehigga kasus itu berpeluang untuk dipolitisasi oleh berbagai kalangan.Oleh karena itu, KPK harus mewaspadai percobaan gerakan yang mengganggu pengusutan kasus suap seperti beredarnya surat perintah penyidikan (sprindik) berkop surat KPK atas nama Menteri ESDM Jero Wacik, yang ditandatangani Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Dalam sprindik itu terdapat tulisan tangan “Tunggu persetujuan Presiden (RI1)”.

Dalam teori korupsi, pelaku tidak selalu melakukannya sendirian, tetapi melibatkan pihak lain di posisi yang strategis. Semoga saja KPK menindaklanjuti temuan-temuannya dan membuktikan dugaan mafia migas itu. Kasus Rudi diselesaikan saja di jalur hukum dan tidak melebar ke mana-mana. Penangkapan itu menjadi simbol seriusnya pemberantasan korupsi di negeri ini sekaligus penyelamatan kegiatan hulu migas sebagai penghasil sumber anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN). Senyampang itu, UU 22/2001 harus dicabut atau dibatalkan!