imsitumeang

Archive for Mei 23rd, 2012|Daily archive page

Agenda Reformasi Gagal

In Uncategorized on f 23, 12 at 10:48 am

Reformasi yang berusia 14 tahun bukan waktu yang singkat. Setelah Soeharto lengser tanggal 21 Mei 1998, banyak harapan Indonesia berubah total. Negeri subur, rakyat makmur. Tapi, pemimpin silih berganti di tampuk kekuasaan dari Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Megawati Soekarnoputri, ke Susilo Bambang Yudhoyono reformasi tetap jalan di tempat.

Reformasi tidak menjadi obat mujarab perubahan bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Reformasi hanya sebatas impian. Yang terjadi terus menerus ialah sejumlah persoalan yang mirip masa Orde Baru. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tetap marak. Bahkan, sebagian pelakunya adalah mereka yang sekitar tahun 1998 gencar menentang Orde Baru yang mempraktikkan KKN.

Sejumlah kasus di akhir era Orde Baru, seperti kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998, penghilangan paksa orang tahun 1997-1998, serta kasus Universitas Trisakti dan Semanggi I-II, tak kunjung selesai. Pemerintah gagal menindaklanjuti rekomendasi dan kesimpulan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Para korban dan keluarganya tetap menderita.

Pemerintah tak kunjung memenuhi janjinya. Yudhoyono mulai mengalami krisis kepercayaan yang menjadi alasan pelengseran Soeharto. Pejabat di berbagai kementerian/lembaga; elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif berlomba-lomba untuk memperkaya dirinya. Nafsu serakah untuk berkuasa turun-temurun di lingkarannya mirip dinasti.

Masyarakat terheran-heran sekaligus pusing karena, antara lain, elit terlibat kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang sekitar tahun 1998 gencar meneriakkan “reformasi”. Korupsi yang marak, karena dipraktikkan dalam jaringan lebih meluas dan merata. Hukum pilih kasih. Pisau hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

Pragmatisme makin terasa. Dulu Orde Reformasi mengoreksi Orde Baru karena mempraktikkan KKN ketika berkuasa. Sejumlah penguasan yang mantan aktivis dan penggerak reformasi justru makin serakah. Idealisme tidak lagi berbekas. Pikirannya hanya bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Ketika pemilu, uang itu terpakai untuk membayar suara pemilih.

Pragmatisme itu mendorong praktik korupsi marak di kalangan politisi, tak terkecuali mereka yang berusia muda. Mungkin karena tidak sabar, melalui cara yang gampang mereka ingin cepat memiliki kekayaan dan kekuasaan. Mereka menyadari bahwa kekuasaan dan kekayaan itu terasa nikmat.

Mungkin juga karena frustrasi. Mereka menyadari bahwa praktik korupsi tetap marak. Pikirannya, ketimbang idealis tapi tangan tetap kosong alias kantong tidak berisi apa-apa, lebih baik ikut serta berkorupsi ria. Elite sibuk menyelamatkan diri atau golongannya ketimbang bangsa dan negara. Tidak aneh jika hampir saban waktu elit diduga, bahkan terbukti korupsi. Hukuman penjara karena korupsi bukan aib.

Mahasiswa yang menjadi motor perubahan itu sebagian besar menjadi bagian kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif. Ironisnya, sejumlah persoalan elite, utamanya yang berusia muda, adalah mereka tanpa motivasi, apakah memperjuangkan nilai tertentu atau hanya ingin cepat memiliki kekayaan dan kekuasaan. Lalu, kesabaran untuk berproses dan penyiapan jaring penopang untuk menjaga langkahnya tetap sejalan idealisme.

Selain reformasi politik, reformasi ekonomi sesungguhnya belum terjadi. Hanya kalangan terbatas yang menikmati kemajuan ekonomi. Orde Baru menciptakan 0,2 persen penduduk yang menguasai 60 persen aset ekonomi nasional. Mereka bertahan bahkan menguat di Orde Reformasi.

Celakanya, hampir semua undang-undang, seperti undang-undang tentang minyak, gas, mineral, listrik, air, dan keuangan, sangat liberal. Acuannya ialah kepentingan asing atau lembaga donor. Makanya, sejumlah pemohon mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK), juga menggugat UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena membuka liberalisasi pengelolaan migas sehingga perusahaan asing menguasai dunia permigasan Indonesia sampai 89 persen.

Perundang-undangan yang pro-asing tidak menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bernilai Rp 1.500 triliun tetapi negara berhutang Rp 1.825 triliun dan pemasukan negara hanya Rp 1.200 triliun. Sebagian besar anggaran tidak untuk belanja pembangunan. Pemerintahan cenderung menggunakannya untuk dirinya, mengabaikan kebutuhan masyarakat.

Citra demokrasi rusak. Demokrasi justru menyulitkan hidup dan mendukung otoritarianisme. Kita memasuki pemerintahan yang lemah, bahkan tanpa otoritas. Demokratisasi lewat sistem multipartai menjadi kesempatan otoritas politik menyebar ke dalam banyak lembaga, bahkan ke daerah-daerah. Demokratisasi cenderung pro kekuatan modal ketimbang kapasitas manusia, sehingga ongkos politik menjadi amat mahal.

Konflik berlatar agama, suku, dan golongan terjadi beberapa kali tanpa penyelesaian. Rentetan peristiwa kekerasan dan kekacauan berlanjut sejak Soeharto lengser hingga kini.

Jangan-jangan pemboceng reformasi telah menguasai Indonesia. Ketika Deklarasi Ciganjur tanggal 10 November 1998, aktivis mahasiswa menyerahkan proses reformasi kepada elite, yaitu Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Sultan Hamengku Buwono X, Megawati Soekarnoputri, dan Mohammad Amien Rais. Dari sudut pandang tertentu, peristiwa itu antiklimaks karena aktivisi mahasiswa menyerahkan momen reformasi kepada partai-partai politik yang kini terbukti karut-marut.

Reformasi harus kembali ke tujuan. Semua itu membutuhkan keteladanan pemimpin serta sistem ketatanegaraan yang benar. Jangan menunggu penurunan kepercayaan karena dapat berakibat perlawanan seperti akhir-akhir ini terjadi di beberapa negara. Reformasi di bawah kepemimpinan Yudhoyono gagal mengemban amanah reformasi.