imsitumeang

Kemiskinan Menjadi Penyakit Kronis

In Uncategorized on f 5, 12 at 10:39 am

Memasuki tahun 2012 ada kabar menggembirakan, tapi juga kabar menyedihkan. Berita gembiranya pertumbuhan ekonomi 6,5 persen di tengah krisis dunia yang hebat tahun 2011, yang tidak jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi tahun 2010 yang mencapai 6,1 persen. Laju inflasi hanya 3,79 persen, jauh lebih rendah ketimbang tahun 2010 yang 6,96 persen.

Indonesia juga diberi apresiasi investment grade (layak investasi) oleh lembaga pemeringkat internasional, Fitch Rating, bulan Desember 2011. Penantian setelah selama 14 tahun. Indonesia terakhir kali mengecap investment grade dengan peringkat utang BBB- bulan Desember 1997.

Berita sedihnya, kinclongnya prestasi makroekonomi tidak signifikan menurunkan jumlah kemiskinan. Dalam kurun enam bulan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat orang miskin cuma berkurang 130 ribu atau 0,13 persen, yaitu dari 30,02 juta orang miskin bulan Maret 2011 ke 29,89 juta orang miskin bulan September 2011. Jika tolok ukurannya berbeda, misalnya versi Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat besar, yakni sekitar 40 persen.

Merujuk data BPS, berkurang 0,13 persen tidak signifikan karena dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional pemerintah menargetkan orang miskin berkurang 1 persen tiap tahun. Penurunan jumlah orang miskin itu sungguh bukan prestasi yang layak dibanggakan pemerintah. Ya, penurunan angka kemiskinan yang jauh di bawah 1 persen saja, bagaimana mungkin itu bisa disebut prestasi gilang gemilang?

Kemiskinan menjadi penyakit kronis, karena bukan saja tak kunjung sembuh—hilang sirna secara absolut sesuai parameter yang disepakati, melainkan juga masalah kemiskinan ini tak menunjukkan perubahan berarti ke arah lebih baik. Kemiskinan terus saja menjadi realitas yang nyata mewarnai kehidupan kita sebagai bangsa.

Kenapa kemiskinan menjadi kronis dan sulit dikurangi, padahal wajah perekonomian versi VPS semakin cantik? Mengapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi yang rendah gagal menurunkan jumlah kemiskinan? Bukankah selama ini pemerintah sudah menggulirkan sejumlah program yang ditujukan ke kelompok penduduk miskin?

Pertanyaan klasik, tetapi mau tidak mau up date kontemporer malah parah, yaitu semakin menajamnya jurang antara yang kaya dan miskin serta semakin menumpulnya kepekaan sosial. Bayangkan, di tengah kemiskinan kronis, elite (penguasa, politikus, pejabat, pengusaha) memamerkan mobil mewahnya yang berharga di atas Rp 1 miliar. Contohnya, Bentley Continental GT berharga Rp 7 miliar, Hummer H3 Rp 1,4 miliar, Mercedes-Benz seri GL Rp 1,9 miliar, Lexus sedan Rp 1,1 miliar, Velfire Rp 1,1 miliar.

Selama ini pemerintah memang sudah menggulirkan program yang secara ideal kental mengusung semangat untuk mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Tetapi karena kurang dilandasi kesungguhan dan komitmen, program pemerintah tersebut relatif tak berdaya guna. Aneka program itu sedikit sekali berdampak signifikan mengikis masalah kemiskinan. Dalam perspektif ini laporan terakhir BPS mengenai kemiskinan ini harus dimaknai.

Kemiskinan kronis serta jurang kaya-miskin jelas amunisi yang hebat bagi pecahnya kerusuhan sosial. Kemiskinan itu antara lain dicerminkan oleh perlawanan rakyat untuk menguasai tanah. Perlawanan rakyat di beberapa lokasi akhir-akhir ini merupakan peringatan dini bom waktu di bawah permukaan. Rakyat mencuri sandal jepit, pisang, semangka, dan kakao merupakan bukti tersendiri perihal buruknya tingkat kesejahteraan.

Kebanyakan program penanggulangan kemiskinan sekadar pelipur lara bagi kaum papa, sekaligus memberi kesan kepada khalayak bahwa pemerintah memiliki kepedulian terhadap mereka. Nah, cacat bawaan itu sungguh elementer: konsepsi aneka program pemerintah secara umum tidak memberdayakan kemampuan ekonomi kelompok sasaran. Dalam banyak kasus, kebijakan pemerintah justru menafikan keinginan mengikis kemiskinan.

Selama ini pemerintah terkesan tutup mata dan telinga bahkan tidak mempedulikan dampak negatif kebijakan. Dalam konteks itu pemerintahan kita berwatak neolib—karena kelewat liberal sekaligus tidak menghiraukan rakyat kebanyakan, termasuk kaum papa. Kalau paradigma seperti itu tetap dianut, sampai kapan pun masalah kemiskinan di negeri kita tetap menjadi penyakit kronis. Karena itu, pemerintah jangan terpukau oleh cantiknya angka statistik makroekonomi.

Tinggalkan komentar